73_Aliran Akhir Zaman

73_Aliran Akhir Zaman

Senin, 18 Januari 2016

Paparan Terkini Terorisme: Pesan untuk Kaum Borjuis dan Penindas

Yesus Sang Juru Selamat pernah berkata: “Dosa memang pasti ada, tapi celakalah ia yg melakukan dosa”. Adalah salah-satu pernyataan paling mendebarkan dalam Kitab Injil. Karena terkadang hanya melalui dosalah agama dilestarikan hingga kini. Lahirlah orang yang ngaku saleh, suci, sekolah agama, gereja, masjid, kuil, tempat mempelajari kesalehan atas para penjahat, pendosa besar. Mereka dihujat tanpa bisa menaruh belas kasihan sedikit pun pada pendosa. Mungkin karena bumi ini bukan dan takkan bisa jadi surga, bumi pun dihujat semena-mena. Peristiwanya tak pernah sesederhana itu. Hanya kamu, wahai pecinta kopi yang insya Allah bisa menyederhakannya, menyederhanakan terorisme.
 
ISIS (Islamic State in Iraq and Sham) dengan CEO Abu Bakar Al-Baghdadi, ya, ISIS yang berada di balik gerakan teror di Sarinah kemarin katanya Pak Polisi Tito Karnivian. Sel jaringan ISIS terdiri dari 1000 anggota militan yang massif merencanakan terwujudnya Indonesia sebagai rantai penting kekuasaan kekhalifahan di tingkat dunia. Apa yang terjadi dengan mereka? Seorang pemikir, Slavoj Zizek yang coba memahami kejadian serangan di Cologne, Paris, lebih membongkar ideologi fasistik yang menjadi pijakan aksi-aksi kekerasan penuh kebencian yang mereka gerakkan. Zizek mengatakan bahwa subjektif politik ISIS sebagai suatu bentuk fasisme-keagamaan, watak inti mereka adalah nihilistik.
Misi kekerasan fundamentalis selalu punya akar pada iri-hati dan kecemburuan, pada dunia Barat kapitalis, inferior namanya.  Dalam gerombolan ISIS,  ada iri hati yang sangat destruktif. Operasinya gagal menghancurkan Barat, mereka lebih memilih menghancurkan diri mereka sendiri sambil menegasikan semua alternatif lain. Islamo-fasisme yang ditunjukkan dengan keras oleh ISIS adalah fenomena reaktif, sebuah ekspresi kekalahan karena ketakbecusan yang berbalik menjadi kegusaran ganas penghancuran diri sendiri. Terorisme ISIS punya ideologi, agama yang dipegangnya hingga mati menggapai surga. Katanya Aktris Katrina Kaif dalam film Phantom: They think they will go to the Heaven, These rascals won’t even get a place in Hell”.
Jika serangan aktor terorisme di kawasan Sarinah, Jakarta, Kamis (14/1) kemarin, sungguh-sungguh dikobarkan oleh gerombolan teroris yang punya jaringan dengan ISIS, maka ini bertanda adanya ‘sirene’ waspada dan bahaya di bumi tercinta ini. Bahwa ISIS sudah mulai memperkokoh kekuatannya di bumi Indonesia tercinta. Aksi terorisme itu juga memberikan pesan bahwa ISIS semakin berkibar, menggunakan strategi dan taktik terbaru yakni ‘keluar kandang, keluar sarang’, ISIS sukses menghancurkan gangguan psikologis, kata ahli terorisme dari Perancis, Mathieu Guidere. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan pascaserangan teror di Paris, yang menewaskan 132 orang pada November 2015 silam. ISIS juga meneror negerinya Jalaluddin Rumi dan Fathullah Gulen, Turki. Mereka beraksi juga di Tunisia, Lebanon. Dan yang terkini adalah beraksi di Sarinah, Jakarta! Di negerinya Bung Karno, para kiai dan santri. Kamis berdarah di tengah krisis kebangsaan dari mulai masalah Freeport, perkelahian politikus kriminal, kesesatan intelijen dan bisnis ayat-ayat Tuhan. Bro and sista, jangan lupa kopi panasmu diminum.
 
AGAMA BIANG KEROK TEROR?
Rentetan aksi terorisme yang mengorbankan nyawa manusia tak berdosa disebut oleh Kanselir Jerman, Angela Markel “Telah memperlihatkan wajah tidak manusiawi dan kekejamannya”. Gerakan terorisme sudah membuka pandangan dan memberikan kesadaran kita semua bahwa sesuainya singkatan namanya, ISIS tak hanya ada di Suriah dan Irak. ISIS telah mempraktekkan strategi keluar dari sarangnya. Sudah sejak tahun 2004, ISIS mengubah dan memperlebar operasi militernya di seluruh wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (Saat ini di Asia, khususnya Indonesia). Dan teror di Jalan Thamrin beberapa hari yang lalu adalah dengan target menginspirasi kaum radikal lainnya dan masyarakat tertindas baik oleh hegemoni nasional dan internasional, melancarkan serangan terhadap multi-nasional brand.
Kenapa mesti Indonesia, negeri para kiai? Dalam laporan berjudul The Evolution of ISIS in Indonesia, kaum radikal Indonesia yang ‘hijrah’ ke negeri Suriah dan berbaiat dengan ISIS, pada tahun 2014 lebih dari 100 orang. Tahun 2015 lebih dari itu, dan sudah kembali ke negeri ini dengan cara dan strategi yang beda, mereka disebut sebagai gerilyawan kota. Hal ini hampir sama dengan orang Indonesia yang dulu pernah terlibat dalam pelatihan dan perang di Afganistan sekitar tahun 1980-an dan 1900-an. Sebuah koalisi besar pejuang Islam yang dilatih dan dibiayai CIA di kawasan Pakistan untuk melawan kekuatan merah Rusia (Baca: Orkestra Iblis, Perselingkuhan 60 Tahun Amerika dan Religius Ekstrim).
Negeri tercinta Indonesia yang kita sayangi sangat mungkin terjadi kobaran api atas nama sentimen Sunni-Syi’ah dan kebencian lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam judul buku Amy Chua yang amat laris dan kontroversial—World on Fire, How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability. Di titik inilah organisasi kepemudaan, organisasi moderat Islam dan elemen bangsa lainnya seperti NU, Muhammadiyah menjadi benteng NKRI dari radikalisme religius yang merusak harmoni Bhinneka Tunggal Ika. Penyelenggara negara haruslah terlibat secara aktif memberikan kesadaran berbangsa. Namun yang terjadi sungguh tragis, krisis demi krisis kebangsaaan masih membahana, mengharu-biru, rakyat makin sengsara dan melarat di tengah serbuan paham neo-liberal, terorisme dan radikalisme religius, yang kini sedang dibentrokan di Indonesia dengan warna Sunni vs Syi’ah, propaganda Islamphobia di penjuru Eropa dengan trigger Paris Attacks. Strategi baru modifikasi Devide it Impera, semoga takkan membuat Indonesia sempal, porak-poranda dan hancur dalam puing-puing sejarah.
Adalah pernyataan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj, bahwa ISIS akan menginvasi Indonesia di tahun 2017, penuturan ini layak kita cermati. Ramainya orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah, dan kembalinya mereka ke negara ini adalah sesuatu yang harus diwaspadai. Mereka akan membabi-buta dalam mencapai tujuannya, tentu semuanya atas nama agama. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di muka bumi adalah wilayah yang cocok sebagai satelit ISIS di ASEAN. Dengan menguasai Indonesia, ISIS akan gampang mengontrol ASEAN. Indonesia akan dibikin chaos dulu dengan isu sektarian seperti Islam-Kristen, Sunni-Syiah, Islam-Hindu untuk Bali dan juga isu politik pro dan kontra Presiden.
Bahkan gerakan separatis untuk memerdekakan wilayahnya masing-masing akan didanai dan diperkuat. Fanatisme terhadap golongan, komunitas, bendera dan lainnya sedang dibangun melalui media sosial. Saat fanatisme itu sudah mencapai titik didihnya, baru dibenturkan. Sesudah terbentur, masuklah ISIS dengan nama yang berbeda, sama seperti di bentuknya FSA (Free Syrian Army ) dan Jabht al Nusra di Suriah. Dan di sini, di Indonesia, banyak sekali organisasi radikal Islam yang berkembang, dibiarkan hidup tak ditangkap. Mereka akan memanaskan chaos di wilayah-wilayah, biasanya dimulai dari perbatasan seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Chaos-chaos itu akan membakar wilayah perbatasan dan terus masuk ke tengah, ke kota-kota. Jawa akan jadi sasaran akhir mereka karena biasanya pertahanan terkuat ada di sekitar ibukota negara. Saat chaos itu, masuklah Amerika dan sekutunya, biasanya melalui NATO. Alasan mereka ingin membantu Indonesia menangani terorisme, padahal sebenarnya mereka malah memperkuat terorisme dengan mengirimkan suplai senjata-militer. Persis seperti di Suriah, yang panas layaknya secangkir kopi. Inilah rekayasa arsitek perang global abad ke-21. 
Diaspora pecinta dan pejuang ISIS yang kembali di bumi Indonesia sudah membawa kekhawatiran dan kewaspadaan siaga I bagi aparatur negara dan masyarakat muslim moderat hingga ke depan. Mereka ingin membangun sebuah negara yang dahulu dalam Kekhilafahan Ottoman, menghilangkan batas-batas negara yang disegel dalam Perjanjian Sykes-Picot (1916) antara Perancis dan Inggris. Saat ini mereka ingin memperlebar kekuasaannya di seluruh dunia. Misi mereka digerakkan dengan teror, jalan keganasan, pembunuhan sadis purba, tidak manusiawi, dan tanpa kasihan. Tetapi seluruh dunia, melawannya. Seluruh dunia mengecamnya. Apakah itu benar nyata atau rekayasa arsitek perang? Demi apa mereka?
Lalu muncul tanya, apakah agama adalah sumber dari terorisme? Charles Kimball menulis When Religion Becomes Evil  dan mulai menulis kalimat pertamanya dengan “Sudah agak umum, tapi malangnya sangat benar, untuk mengatakan bahwa lebih banyak perang dilakukan, lebih banyak orang dibunuh, dan sekarang ini lebih banyak kejahatan dikerjakan atas nama agama, ketimbang kekuatan institusional lainnya dalam sejarah umat manusia.  Doktrin bahwa agama menyebabkan tindakan kekerasan telah melahirkan atheis lebih banyak dari aliran pemikiran fislafat mana pun. “Religion makes enemy instead of friends. That one word, ‘religion’ covers all the horizon of memory with visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny, and death,” Ingersoll, ateis Amerika yang terkenal itu menjelaskan. Pasca itu, para atheis internasional memberikan setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah.  Richard Dawkins juga membagi bab-bab dalam bukunya,  God is Not Great (semuanya dengan huruf kecil) berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman manusia.
Dengan semangat,  ia merilis daftar peperangan yang dalam pandangannya didasarkan pada motif keagamaan. Saya mengambil sebagian saja: Palestina (Yahudi vs Muslim), Balkan (Serbia Orthodoks vs Bosnia Muslim), Irlandia Utara (Protestan vs Katholik), Kashmir (Muslim vs Hindu),  dan perang Iran-Iraq (menurutnya Syiah dan Sunni).  Menarik bahwa hampir setiap contoh yang dikemukakannya melibatkan kaum Muslim. Ia menghapus dari catatan peperangannya antara sesama umat Kristiani, sejak abad pertengahan sampai abad modern (misalnya, Perang Malvinas).
Lalu, kenapa Barat mempertahankan pandangan bahwa agama sebagai penyebab tindakan kekerasan atau terror?  Seperti ikut marja’ Wittgenstein, para penulis Barat mempertahankan pandangan ini untuk memainkan “language game”. Kita tidak usah terlalu payah memikirkan definisi agama dan kekerasan atau teror. Kita harus menginvestigasi untuk maksud apa orang mempertahankan pandangan itu.   Mengapa mereka mengulang-ulang cerita tentang “religious violence”?  William  Cavanaugh dalam makalahnya, “Does Religion Cause Violence?” di The University of Western Australia, 29 Mei 2006 menjawabnya:
… karena kita di Barat menganggap konsep ini bisa kita gunakan. Dalam politik dalam negeri, konsep ini berguna untuk membungkam wakil-wakil agama di tengah-tengah public sphere.  Didongengkan berkali-kali bahwa negara liberal telah belajar menjinakkan perpecahan berbahaya karena persaingan agama dengan mereduksi agama hanya menjadi urusan pribadi. Dalam politik luar negeri, kebijakan konvensional ini (yakni, agama menimbulkan tindakan kekerasan) membantu memperkokoh dan membenarkan sikap dan kebijakan terhadap dunia non-Barat, terutama kaum muslim, yang perbedaan utamanya dengan Barat ialah penolakannya yang keras untuk menjinakkan perasaan agama di tengah-tengah public sphere 
 ‘Kita di Barat telah lama mengambil pelajaran berharga dari peperangan agama dan telah bergerak ke arah sekularisasi. Negara-bangsa (nation-state) yang liberal pada hakikatnya adalah pencipta perdamaian. Sekarang kita hanyalah berusaha berbagi berkat kedamaian ini dengan dunia Islam. Sayang sekali, karena fanatismenya yang membabi-buta, kadang-kadang kita harus menyeret mereka ke dalam demokrasi liberal dengan mengebomnya.’ Dengan kata lain, mitos kekerasan agama memperkuat dikotomi yang tegas antara kekerasan mereka –yang absolutis, memecah-belah, dan irasional-dengan kekerasan kita, yang moderat, mempersatukan, dan rasional”. 
Jadi pernyataan ‘agama menyebabkan teror”  bukanlah wacana ilmiah yang bisa diverifikasi. Pandangan ini adalah wacana ideologis. Diskursus ini memosisikan Barat sebagai lawan dari bukan-Barat, antara “the West and the Rest,” seperti kata Samuel Huntington, antara rasionalitas dan  irasionalitas, antara modernitas dan pra-modernitas, antara sekular dan religius, antara perdamaian dan kekerasan.   Roxanne Euben dalam bukunya Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism, menegaskan perbedaan utama antara Barat dengan Islam, “If they were the voices of modernity, freedom, liberation, happiness, reason, nobility, and even natural passion, the irrational was all that came before: tyranny, servility to dogma, self-abnegation, superstition, and false religion. Thus the irrational came to mean the domination of religion in the historical period  that preceded it”.
Ideologi, dalam warna dan bentuk apapun, selalu mendistorsi realitas.  Pertanyaan ‘Apakah agama menimbulkan kekerasan’ adalah pertanyaan ideologis dan retoris. Analisis individual tentang aktor keagamaan yang melakukan kekerasan membawa kita pada sesat pikiran (fallacy)  seperti menyalahkan korban (blaming the victim). Mereka langsung disalahkan dalam kekerasannya karena mereka, misalnya, memang punya “bakat” keras.  Mereka menderita gangguan kejiwaan atau cacat dalam struktur kepribadian mereka.  Dengan begitu, kita mengabaikan institusi-institusi sosial  seperti sistem sosial, pembangunan dalam konteks (Ipoleksosbud Hankam) yang membentuknya.  Masyarakat  dan negara dilepaskan dari “kesalahan” apapun. Pelaku terror dan kekerasan  harus menanggung seluruh beban dosa dan hina. Ada dua faktor situasional yang mendorong aktor agama untuk melakukan tindakan kekerasan dan teror:
(1) Pandangan keagamaan yang dianut(2) perlakuan tidak adil dari sistem pemegang hegemoni nasional, penindasan, globalisasi dan sengaja dimainkan oleh gangster dan arsitek perang abad ke-21. Sumanto Al-Qurtuby, Profesor Antropologi King Fahd University of Petroleum & Minerals mengatakan, bahwa konflik dan perseteruan antar-bandit terorisme itu terjadi di semua tempat, di semua negara. Jadi harus cermat dalam melihat kompleksitas, pluralitas, dan dinamika perubahan para preman bertopeng agama ini, jangan sampai larut dan terlena dengan ‘irama gendang kekerasan’ yang mereka mainkan. Saudara kita yang melakukan teror di Sarinah juga korban dan tumbal mereka, disesatkan hidupnya oleh gembong perusahaan teror kelas dunia.
Karya buku Autobiografi Hillary Clinton berjudul Hard Choice, telah memberikan kita pemahaman bahwa ISIS dibentuk, didanai dan diinisiasi oleh Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Istri Bill Clinton itu menulis bahwa ISIS dibentuk sebagai respon atas menguatnya gerakan Arab Springs, yang pada awalnya akan dibentuk di Mesir. Perempuan itu mengaku bahwa kekuatan ISIS semakin membesar dan tak terkendali. Dari kisah Hillary Clinton, jelas bahwa ISIS sama dengan Al-Qaeda yang dikomandoi Osama bin Laden, dibentuk dan dibiayai oleh Amerika untuk kepentingan pragmatis negara para penjahat global itu. Dengan bergeraknya waktu, organisasi ini dihabisi Amerika sendiri. Amerika menciptakan kawan sekaligus lawan. Ngeri banget bro, ajian jurus apa itu?. Dalam sejarah ISIS di era Mesir Kuno adalah praktik kebudayaan untuk melanggengkan kekuasaan Imperium Firaun. Saat ini, ISIS dilandaskan demi melanggengkan imperium Amerika dan Blok Barat, katanya Chomsky.
Saat menganalisis kekerasan dan terorisme yang terjadi di negeri kita, kita dituntut untuk tidak terjebak dengan ideologi sekular yang bermaksud memojokkan agama. Pada saat yang sama juga, kita tidak begitu saja menafikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor agama.  Intinya, aktor agama tidak cenderung menggunakan kekerasan, seperti yang dikumandangkan oleh kaum ateis.  Anasir-anasir situasional seperti dominasi orientasi dan wacana keagamaan yang eksklusif dan perlakuan tidak adil dari negara, struktur globalisasi, penindasan, frustasi, jengkel, trauma, balas dendam, dan faktor psikologi sosial telah “memaksa” aktor agama untuk memilih kekerasan dan terorisme.  Keadaan yang memaksa mereka. Dengan alasan ini, kita bisa merumuskan hipotesis bahwa  aktor-aktor  agama sebetulnya lebih mudah menjadi agen-agen perdamaian ketimbang menjadi pelaku kekerasan dan terorisme. Belum lagi anasir dan faktor jebakan dan perangkap dari arsitek perang, kaum teroris juga korban dan tumbal dari bisnis raksasa. Dalam bahasa dialog Tom Haggen dan Sonny Santino Corleone (Film The Godfather) “The even the shooting of your father was a bussinness, Sonny! Nothing personal”. Dalam bahasa Robert Dreyfuss (Baca: Devils Game); penyelenggara negara dalan hal ini komunitas intelijen dan kaum radikal religius saling mengedipkan mata, bermain mata untuk membuat tabir asap masalah sesungguhnya. Angkat lagi cangkir kopimu bro, nikmati dengan pasrah.
 
DUNIA TERKINI 
Detik ini sampai ke depan, Islam telah menjadi perhatian di seluruh dunia. Islam digunakan untuk memenuhi target kepentingan dan pemenuhan sumber daya alam negara-negara kolonial. Dari kalangan pembuat kebijakan di pusat-pusat yang tersebar dari Barat sampai Timur, hingga di pelosok-pelosok, Islam disebut-sebut tanpa henti. Semenjak Perang Dingin telah berakhir, dunia seolah-olah telah kehilangan salah satu bandul neracanya. Pertarungan kapitalisme melawan komunisme telah berakhir. Maka seolah-olah dunia telah selesai ceritanya. The End of History, kata Fukuyama. Konon, dunia telah menjadi multipolar. Narasi baru pun dimulai oleh para konspirator kelas dunia. Tiba-tiba munculah narasi baru dunia, bahwa masa depan dunia akan ditentukan oleh peradaban-peradaban yang akan saling berbenturan atau justru dibenturkan. Itulah yang disebut dengan The Clash of Civilizations. Masyarakat dunia Islam terperangkap dalam provokasi dan jebakan para arsitek perang. Terlebih masyarakat Islam di Indonesia.
Islam adalah salah satu yang akan dibenturkan dengan peradaban lain. Tidak lama setelah itu, secara serentak di seluruh dunia muncul apa yang kemudian disebut-sebut sebagai radikalisme Islam sebagai sebuah bukti bahwa Islam telah bersiap untuk perbenturan peradaban. Islam yang pada masa Perang Dingin telah bahu-membahu bersama kapitalisme untuk meruntuhkan komunisme, kini telah ditinggalkan. Harganya adalah Balkanisasi, pembersihan kaum muslimin di Bosnia Herzegovina tepat di depan hidung NATO yang selama dekade terakhir saat itu telah dibantu untuk mengusir Uni Soviet dari pintu gerbang ke sumber minyak terbesar di dunia, Timur Tengah. Terjadilah Timur Tengah yang berkobar, Arab Spring namanya dalam gumpalan asap mesiu senjata, yang katanya konflik Sunni vs Syi’ah merembes Asia Tenggara dan di Indonesia. Dalam istilah senior NU: The game changer of the Middle East.
Umat Islam pun dibentur-benturkan dengan saudara-saudara sebangsa dalam konflik Sunni-Syiah dan titik merah SARA lainnya. Karena Indonesia adalah medan tempur bagi kekuatan dunia, dari awal sejarahnya dan hingga kini. Inilah yang kudu diantisipasi OKP-OKP, sebagaimana ilmunya KH. Idham Chalid, Trilogi Pejuangan NU yakni sadar terhadap situasi dan kondisi psikologi masyarakat Islam Indonesia dan dunia Islam yang dipecah-belah, diadu-domba, devide it impera yang lebih canggih dan progresif dari para arsitek perang dan gangster abad ke-21.
Padahal setiap negeri mempunyai tradisi masing-masing yang diwarisi dari setiap generasi pendahulu. Karena itu, kehendak untuk menyatukan dunia Islam dalam satu wadah politik dan keagamaan di bawah payung khilafah ISIS adalah sesuatu yang tidak mendasarkan diri pada realitas Islam hari ini. Dan peran kita mesti mengumumkan manusia untuk berpegang teguh pada tali Tuhan, kesadaran akan ‘konspirasi global’ dan persatuan umat Islam. Indonesia terkini, ditengah banjir bandang globalisasi dan vulture capitalism yang memangsa dunia Islam. Mengabarkan bahwa Sunni dan Syi’ah adalah Islam, bersaudara dan Islam kini dijadikan sebagai mangsa dari para arsitek perang, menggunakan ‘bendera palsu’ atas apa yang ada dalam isi kitab al-Qur’an. Pertarungan anak manusia yang sudah dikondisikan, untuk meraih cita-cita dan kepentingan yakni nafsu dan angkara murka dunia. Waspadalah! Kaum radikal religius sudah bergenyatayangan, sampai tempat ngopi pun ngga aman dari provokasi mereka.
 
APA YANG MESTI KITA LAKUKAN?
Adalah Islam Nusantara, yang diwarisi para pendahulu menginginkan keharmonisan, kerukunan dan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan NKRI, di tengah prahara dunia yang berkobar, dan bergejolak berbau dunia. Kita harus tetap mengantisipasi tebaran jaring laba-laba, dan jeratan kapitalisme berbendera palsu ‘konflik Sunni-Syi’ah’, karena dua madzhab Islam itu hanyalah jadi mangsa dari arsitek perang abad ke-21, membuat harmoni bangsa ini hancur lebur jika terjadi di bumi para wali ini.
Saat kita memberikan cap orang itu sesat, Syi’ah, kafir dan lainnya, saat kita bertakbir dan tak panjang pikir menyatakan orang lain kafir, masuk neraka. Kita tak ubahnya malaikat. Bukan saja sebagai malaikat yang mencacat amal baik, aib sebanyak-banyaknya dan mengabadikannya. Tetapi juga kita seperti malaikat maut yang mengambil hak hidup manusia, sebagaimana gerakan radikal ISIS (Baca: William McCants, The ISIS Apocalypse: The History, Strategy, and Doomsday Vision of The Islamic State) yang membunuhi sesama manusia yang berbeda atas nama agama dan madzhab, bahkan sama agamanya. Membasmi kehidupan dengan strategi kekerasan, terror, membunuh kemanusiaan, menghancurkan makam-makam para Nabi, pusara Waliyullah Uwais al-Qarni. Bahkan menggorok kepala manusia, sebagaimana kisah cucu tercinta Kanjeng Nabi Muhammad Saw. dibantai pada Muharrom oleh orang yang ngaku-ngaku Islam juga. Semoga hal itu tidak terjadi di bumi Indonesia, negeri penggalan surga, tapi terjarah dan terjajah hingga kini. Tapi kini sudah mulai terjadi, mereka berjihad di Jalan Thamrin, bukan di jalan Allah. Karena ajaran Allah yang sejati adalah kasih sayang, bukan membunuh dengan sadis.
Saatnya kita berbagai harta dan ilmu dengan yang lain, berbuat baik dan terpenting adalah pengurus negara harus miliki ideologi mewujudkan keadilan sosial, jangan sampai kemiskinan warga menyebabkan anarki dan terorisme baru kedepannya, karena iri hati dan kebencian adalah pendorong aksi radikal. Begitu juga kepada para pengiat toleransi dan pluralisme, mestinya mereka kasihan juga kepada aktor agama dan teroris, karena sejatinya mereka adalah ‘anak yatim’, yang terpisah dari bimbingan terdalam al-Qur’an, tutur Fathullah Gulen dari Turki. Ingatlah “Fa’amal Yatima falaa Taqhar, Wa Amma Saaila Falaa Tanhar, Adapun anak yatim, janganlah engkau membentaknya, dan orang yang meminta-minta jangan engkau menghardiknya. Itulah posisi negaramu, bangsamu. Bangsamu meminta-minta untuk diurus dan dirawat apapun masalahnya, termasuk juga kaum pendosa besar.
Demikian pesan untuk kaum borjuis, penindas yang sudah ‘lelah menyeret gerbong kapitalisme, seirama jam kerja pagi hingga malam’. Lahirlah sikap apatis, abai, emoh negara, pasif, datar, hambar dan netral terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan di negeri yang terjajah ini, terjarah sepanjang masa. Dan itu bukanlah watak asli manusia Indonesia. Renungilah ayat al-Qur’an, Fainna ma’al ‘usri yusra, Inna ma’al ‘usri yusra. Libatkanlah dirimu dalam kelelahan-kelelahan beramal shaleh yang sesungguhnya demi bangsa dan negaramu. Sebagaimana para pecinta kopi bernama Gus Dur dan para Kiai se-antero negeri. Melindungi tumpah darah, Indonesia.
 
PENUTUP
Seyogyanya janganlah kita cenderung kepada hidup santai-santai, sebab itulah musuhmu, musuh terbesar hidup kita. Menantu Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah Saw, Sayyidina Ali bin Abi Thalib as berkata,” Orang-orang utama dan mulia disiapkan untuk saat-saat sulit”. Warga Indonesia adalah manusia ditempa pertempuran dan peperangan hidup, akrab dan gaul dengan-Nya. Sejarah belumlah berakhir, kapitalisme dan liberalisme bukanlah akhir dari sejarah manusia. Indonesia harus bangkit dan berkibar, walaupun diterpa badai terorisme ISIS dan apapun itu namanya. Tragedi teror di Sarinah adalah awal, dan awal adalah kabar untuk setiap saat waspada, pitutur pecinta Kopi plus rokok Sampoerna Mild, Kiai Said Aqiel,” Janganlah takut Allah bersama kita”.
Titik point kita adalah membela negara, menciptakan peristiwa dengan narasi tandingan atas radikalisme, ekstrimisme dan terorisme ISIS yakni tentang narasi makna agama Islam yang sejati, Jihad yang benar dan nasionalisme Indonesia. Melalui Ulama’ dan Kiai, Habaib, kita berguru dan menyebarkan kebaikan dan makna hidup, kematian yang tepat di altar peperangan media sosial dan pertempuran asimetris yang panas dan ganas. Sebagaimana teladan, pitutur Kiai Maimun Zubair bahwa aksi terorisme tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena merusak martabat manusia. Dan akar terorisme adalah ketidakadilan, saatnya pemimpin dan elit negeri ini memberikan keadilan pada rakyatnya dan janganlah jadi penindas manusia,’ demikian kata Emha Ainun Nadjib Kiai Kanjeng. Karena ada nubuat zaman: nanti manusia tak butuh harta dan uang, yang dibutuhkan adalah darah, darah dan darah.
Hanya kepada Allah Ta’ala kita bergantung, memohon pertolongan, senantiasa menguatkan siapa saja yang berjuang untuk kecintaan kepada Rasulullah Saw, kepada negeri Indonesia ini dengan tentara-Nya yang tak terlihat. Assalamu’aika Ya Zainal Anbiyya’, dengan cinta-Mu, Duhai Nabi Muhammad Saw, berikanlah jalan keluar dari krisis kebangsaan Indonesia yang kami ada di dalamnya. Hindarkanlah kami dari tipu-daya, makar, tebaran jaring, jeratan dan pecah-belah musuh bangsa, para arsitek perang dan gangster abad 21. Berikanlah kami segenggam kekuasaan untuk hadapi mereka, untuk menggerakkan firman-firman-Mu. Karuniakanlah pada orang-orang kaya rendah hati dan kemurahan. Karuniakanlah orang-orang miskin kesabaran dan kecukupan. Wa amitna fi thariqatihim, wamuafatim minal fitani, Selamatkanlah kami dari segala fitnah dan petaka. Amin bertubi-tubi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar