M. Zaki Mubarak-[1]Ingat
wahai mujahidin..Imam kita S.M. Kartosuwiryo dulu waktu membangun dan
menegakkan serta memproklamirkan kemerdekaan NII dengan darah dan nyawa
para syuhada, bukan dengan berleha-leha… kalau antum ingin benar-benar
membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur, siramlah dengan
darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah..(testimony
Acong, pelaku bom bunuh diri Bali 12 Oktober 2002)
Banyaknya
teror dan tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi dalam kurang
lebih satu dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai salah
satu wilayah penting dalam studi-studi terorisme dan radikalisme
keagamaan. Merujuk kepada Global Terrorism Database (2007),
dari total 421 tindak terrorisme di Indonesia yang tercatat sejak 1970
hingga 2007, lebih 90% tindak terorisme terjadi pada kurun tahun-tahun
mendekati Soeharto lengser hingga memasuki era demokrasi. Selain itu,
jenis tidak terrorisme yang bersifat “fatal attacks” juga mengalami
kenaikan serius pada kurun waktu tersebut. Termasuk penggunaan metode
baru dalam melakukan teror, yakni aksi bom bunuh diri (suicide attacks)
yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi. Sejak peristiwa teror Bom
Bali I yang menewaskan 202 orang hingga 2013, sekurangnya telah
berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan radikal
yang dikenal sebagai Jemaah Islamiah (JI)- dan jaringannya- dianggap
sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas sebagian besar
gelombang teror di Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi
teror tersebut, hingga Juni 2013 pemerintah telah menahan lebih kurang
900 orang yang didakwa terlibat tindak pidana teroris dan sekitar 70
terduga teroris ditembak mati.
Keterlibatan
kelompok Islam radikal dalam aksi teror sama sekali bukan merupakan
fenomena baru dalam sejarah politik di tanah air. Menengok sejarah dapat
dicatat antaranya: pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu
kekerasan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an
hingga awal 1960-an). Lalu, masa Orde Baru muncul juga serangkaian
kekerasan dan pengeboman yang dikaitkan dengan gerakan Komando Jihad,
pembajakan pesawat terbang Woyla oleh sekelompok fundamentalis jamaah
Imron bin Muhammad Zein tahun 1981, peledakan candi Borobudur oleh
kelompok Syi’ah yang dipimpin Hussein al Habsy tahun 1985, dan
sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan berlatar
keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi demokrasi hingga saat
ini.
Telah
muncul berbagai studi yang mencoba memahami akar-akar terorisme dan
radikalisme dalam berbagai perspektif, baik itu segi ekonomi, budaya,
politik, psikologi, dan keagamaan (A.P. Schmidt, 2011 dan John Horgan, 2012)
Demikian halnya studi terorisme di Indonesia. Para ahli sepakat bahwa
akar terorisme bersifat kompleks. Ada beberapa segi terorisme keagamaan
di Indonesia yang membedakan dengan fenomena serupa di negara-negara
Barat maupun negara muslim lainnya seperti Malaysia, yakni unsur
kesejarahan. Akar terorisme di Indonesia saat ini yang melibatkan banyak
kelompok Islam berpandangan radikal akan dapat diketahui dengan baik
dengan melihat keterhubungannya dengan gerakan-gerakan Islam radikal
yang telah ada sebelumnya. Penulis melihat bahwa radikalisme Islam saat
ini merupakan “turunan” dari radikalisme Islam yang diawali sebelumnya
oleh Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya sejak 1950-an dan gerakan
Komando Jihad atau Komji yang muncul akhir 1970-an (Lihat: Zaki Mubarak, 2008).
Hubungan ini nyata terlihat tidak hanya pada segi kesamaan ideologi,
tapi bahkan juga segi biologis. Beberapa nama terduga teroris, baik yang
ditangkap hidup-hidup atau tertembak mati, tercatat telah memiliki
sejarah panjang tersangkut paut dengan gerakan teror keagamaan
sebelumnya.
Dengan
membagi aksi teror dan radikalisme agama pasca kemerdekaan ke dalam
beberapa fase, menurut penulis, fenomena terorisme di era reformasi
merupakan fase ketiga yang merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase
pertama, telah disebut sebelumnya, ditandai dengan munculnya gerakan DI/
TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh Kahar Muzakkar dan Daud
Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan Komando Jihad 1970-an hingga
1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII era
Kartosoewirjo. Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, yang
kemudian dikenal luas sebagai amir Jemaah Islamiyah (JI), telah muncul
pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang
terjadi saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.
Selain
akar kesejarahan, genealogy pemikiran/ ideology yang menginspirasi
berkembangnya radikalisme keagamaan juga penting untuk ditelusuri.
Perkembangan gagasan Islam radikal di tanah air, yang beberapa ekspresi
politiknya dilakukan melalui aksi teror, banyak dipengaruhi oleh
pandangan keislaman ulama klasik Ibnu Taimiyah dan juga Sayid Quthb
–pemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin Mesir yang akhirnya dihukum
gantung-. Pemikiran Quthb –melalui Ma’alim fi at Thorieq-
banyak menginspirasi radikalisme keagamaan dikalangan muda pada 1980-an.
Terutama, pandangannya soal jahiliah modern dan definisi kufr yang
meluas. Lalu, gagasan ini diperkukuh oleh Syaikh Abdullah Azzam –
dengan konsep jihadnya, yang kemudian berhasil mempengaruhi para aktifis
muslim Indonesia pergi berjihad ke Afghanistan. Lalu, Osama bin Laden,
menjadi tokoh terpenting dalam mempengaruhi arah dan perkembangan
gerakan neo-fundamentalisme kontemporer (Oliver Roy, 2005).
Justifikasi jihad dan dalil kegamaan yang banyak keluar dari aktifis
radikal saat ini kenyataannya tidak lebih sebagai “copy paste“
ungkapan-ungkapan yang sering dilontarkan Bin Laden sebelumnya. Kuatnya
pengaruh para tokoh diatas juga dapat dibaca dengan jelas dalam
berbagai buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi oleh
kelompok-kelompok Islam radikal di tanah air.
Selain
faktor kesejarahan dan ideology, faktor kebijakan negara yang sangat
repressif terhadap kelompok Islam juga dianggap berperan penting yang
mendorong kelompok Islam melancarkan aksi terror. Mohammed Hafez (2004)
menegaskan hal ini dengan menyimpulkan –dalam kasus terorisme kelompok
Islam di Aljazair- bahwa repressi yang brutal oleh rejim menjadi faktor
terpenting yang melahirkan aksi-aksi terror dari kelompok Islam yang
ditindas dengan kejam. Dalam sebuah moment dimana seluruh ruang untuk
berpartisipasi tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, maka
satu hal yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya yang
paling ekstrim: terorisme.
Genealogy Pemikiran
Meskipun
kelompok radikal Islam yang berkembang saat ini tidaklah tunggal tetapi
terdapat banyak variasi baik itu pada segi keorganisasian, model
gerakan, maupun latarbelakang kelahirannya, tetapi menurut Roy (2005:
37-41) mereka memegang doktrin yang hampir sama, antara lain:
Pertama,
membentuk sebuah kekuasaan Islam, baik itu berupa Negara Islam ataupun
Kekhilafahan Islam. Sebab, hanya melalui sarana itulah, kekuasaan
politik, syariat Islam dan semua kebijakan yang betul-betul islami bisa
diberlakukan.
Kedua,
memutus hubungan dengan masyarakat kontemporer. Dalam pikiran mereka,
masyarakat saat ini dilihat sebagai “tidak suci”, telah menyeleweng dari
ajaran Islam. Mereka menyebutnya sebagai “jahiliah modern”. Konsep takfir (pengkafiran), termasuk bagi muslim yang tidak setuju terhadap agenda Islamis mereka, antara lain berkembang dari doktrin ini.
Ketiga,
menciptakan Teokrasi. Dalam pandangan mereka, sistem kehidupan (sosial,
ekonomi, dan politik, atau apapun) yang tidak berasal dari Islam adalah
kufur. Mereka menentang baik demokrasi (kekuasaan rakyat) maupun
kekuasaan otoriter dengan dalih model kekuasaan tersebut tidak berasal
dari Islam. Dalam Islam, hanya Allah yang berkuasa. Golongan Islamis
menggunakan slogan-slogan, “syariah adalah solusi” dan “al-Qur’an adalah
konstitusi”.
Konsep takfir yang
kontroversial itu awalnya muncul dari ulama klasik Ibnu Taymiyya, yang
kemudian dihidupkan kembali oleh Quthb dan para Islamis modern
pengikutnya, untuk menghakimi pemerintahan yang meskipun muslim tapi
tidak Islami. Bagi mereka, definisi kafir dan semua implikasinya, tidak
hanya berlaku bagi mereka yang tidak beragama Islam ataupun ateis,
tetapi juga berlaku bagi sebuah pemerintahan yang meski mereka
menyatakan diri sebagai muslim tetapi tidak menjadikan syariat Islam
sebagai dasar kebijakan. Dengan membagi hanya pada dua pilihan bagi
masyarakat saat ini: Jalan Tuhan (hizb Allah) atau Jalan Setan (hizb al-syaithan), Quthb menegaskan siapapun yang tidak bersandar hanya pada hukum Allah (syariah), maka mereka adalah bagian hizb al-syaithan.
Pemikiran
dan ideology gerakan Islam radikal dalam sejarah perjalanan Indonesia,
mulai dari gerakan Darul Islam (DI) hingga Jamaah islamiah (JI),
memegang teguh ketiga doktrin di atas. Dalam teks proklamasi DI
misalnya dengan jelas disebutkan kewajiban umat untuk membentuk sebuah
kekuasaan Islam karena hanya model kekuasaan itulah yang “diridhoi”
Allah. DI juga memperkenalkan konsep hijrah, yang berisikan seruan
kepada warga Republik Indonesia RI –negara yang dianggapnya kufur- agar
berpindah ke Negara Islam bentukan Kartosoewirjo. Tindakan pembunuhan
dan serangan DI di daerah muslim yang tidak mendukung tujuan politiknya,
juga didasarkan atas keyakinan bahwa meski mereka muslim tetapi dapat
dihakimi sebagai kufur karena tidak mendukung jihad pendirian Negara
Islam. Pembunuhan terhadap muslim yang bukan pendukung NII karenanya
juga dijustifikasi sebagai bagian perang sabil. Gagasan tentang jihad
sendiri telah ditulis Kartosuwirjo pada 1930, yang dilanjutkan kemudian
dengan melahirkan konsep hijrah, dari “Makkah-Indonesia” menuju
“Madinah-Indonesia”, pada 1940 (Formichi, 2012). Baru kemudian, seiring
dengan konfrontasi yang makin keras antara gerakan DI dan pemerintah
Indonesia pada 1950-an, konsep ini ditafsirkan dan diterapkan dalam
bentuknya yang paling radikal.
Konsep
tentang jihad dan hijrah ini kemudian juga dapat ditemukan dalam
retorika gerakan-gerakan islam radikal yang muncul setelahnya, misalnya
dalam diri gerakan Komando Jihad era Orde Baru dan Jemaah Islamiah (JI)
pasca reformasi. Semakin kebelakang, pemaknaan jihad dan hijrah juga
semakin meluas. Apabila sebelumnya, jihad hanya merujuk kepada
perjuangan nasional melawan kolonial Belanda, dan kemudian pada 1950-an
menyasar kepada pemerintah yang “mendukung” komunis, tetapi dalam
beberapa tahun terakhir makna jihad menjadi lebih bersifat
internasional, mencakup perlawanan bagi siapa saja (pemerintahan) yang
dianggap telah mendukung penindasan dunia Islam oleh Amerika Serikat dan
Israel.
Sejalan
dengan konsep Quthb tentang masyarakat jahiliah, baik Darul Islam
maupun Jemaah Islamiyah juga memberikan penilaian keagamaan terhadap
pemerintahan Republik Indonesia, yang karena ketidaksediaanya
menjalankan syariah dengan kaffah, sebagai pemerintahan jahiliah
(Pinardi: 1964, Greg Barton, 2004). Bagi mereka, apabila pemerintahan
jahiliah seperti itu apabila tidak bersedia melakukan “hijrah” secara
sukarela, maka harus diperangi. Dalam “Dakwah dan Jihad (2003), Abu
Bakar Ba’ashir menjelaskan secara eksplisit beberapa point penting
menyangkut doktrin keagamaan menyangkut pelaksanaan syariat islam dan
hukum bagi mereka (pemerintah) yang tidak menjalankannya, antara lain:
Pertama, dienul Islam (agama Islam) wajib diamalkan secara murni, tidak
tercampur dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum buatan manusia; Kedua,
dienul Islam wajib diamalkan secara bedaulat/ berpemerintahan/ dengan
kekuasaan, bukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok.
Dengan dasar wajibnya syariah dijalankan secara kaffah,
Ba’asyir kemudian menjatuhkan vonis musyrik kepada mereka yang masuk
kategori: Pertama, sesorang atau kelompok yang membuat undang-undang
atau hukum tanpa merujuk kepada Qur’an dan Hadits; Kedua, siapapun yang
membenarkan dan mentaati undang-undang atau hokum buatan manusia yang
tidak merujuk kepada hokum Allah. Dengan merujuk kepada pendapat Syaikh
Abdullah Azzam, kafir juga berlaku bagi: presiden, para sarjana atau
keum intelektual, Dewan Perwakilan Rakyat, serta masyarakat, yang telah
membuat dan melaksanakan undang-undang yang tidak berdasarkan syariat
dari Allah. Bagi Ba’asyir, “barang siapa yang menandatangani pelaksanaan
undang-undang itu –yang tidak bersumber dari Allah- maka dia telah
menjadi kafir, keluar dari Islam dan golongan kaum muslimin”. Meski
Indonesia telah mengadopsi beberapa unsur syariat dalam hukum nasional,
bahkan telah memberikan legalitas bagi Provinsi Aceh- kini Naggroe Aceh
Darussalam- untuk menerapkan syariat Islam, bagi Ba’asyir pemerintah
Indonesia tetap saja pemerintahan kafir sebab syariah tidak
diberlakuikan secara menyeluruh (Praga Adhitama, 2011).
Ia
menegaskan, “meski pemerintah melaksanakan sebagian hukum Islam, bahkan
menjadikan agama Islam sebagai agama negara, kalau dia (pemerintah)
sengaja pelaksanaan hukum Allah secara kaffah, dan menolak menjadikan
Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber hukum, maka pemerintahan
semacam ini masuk dalam golongan thoghut” (Ba’ asyir, 2003) . Atau
dengan meminjam istilah Sayyid Quthb merupakan pemerintahan “hizb
al-syaithan”.
Gagasan tentang jihad dan takfir seperti
diatas juga terlihat betul dalam keyakinan Imam Samudra sehingga
menginspirasi untuk melakukan pengeboman di Bali 12 Oktober 2002.
Menurut Imam Samudra, jihad yang berarti perang melawan kaum kafir wajib
dilakukan kapan saja dan dimana saja hingga terlaksananya hukum Allah
secara sempurna. Jihad ini juga berlaku untuk memerangi kaum yang
disebut sebagai bughot atau mereka, meskipun muslim, tetapi
menolak Negara Islam (Imam Samudra, 2004). Pemahaman yang radikal
tentang jihad hingga dengan tegaknya hukum Allah di muka bumi juga dapat
ditemukan dalam berbagai testimony para pelaku aksi bom bunuh (lihat,
testimony Acong 2012). Di mata para “martyr” ini siapapu mereka yang
menolak tegaknya hukum Allah secara kaffah dianggap sebagai bagian kaum kuffar salibis-zionis yang harus diperangi.
Genealogy Gerakan
Abu
Bakar Ba’ashir menjadi sosok yang paling banyak disebut – dang mungkin
berperan paling penting- dalam perkembangan gerakan Islam radikal pasca
era Kartosuwiryo. Kiprahnya dalam gerakan ekstrim Islam telah banyak
disebut sejak akhir 1970-an, bersama Abdullah Sungkar- dalam serangkaian
kasus Komando Jihad. Gerakan yang kemudian disebut olej Pangkopkamtib
Soedomo sebagai Komando Jihad itu sendiri melibatkan banyak eksponen NII
era Kartosuwiryo, antara lain: Aceng Kurnia –mantan Komandan ajudan
Kartosuwiryo-, Haji Ismail Pranoto (HISPRAN), Danu Muhammad Hassan, Dodo
Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Warman, dan sebagainya. Gerakan ini
melancarkan terror di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera. Merujuk
Solahudin (2011) Ba’ashir dan Sungkar –yang sebelumnya aktif di Dewan
Dakwah- bergabung ke NII akhir 1970-an melalui Haji Ismail Pranoto. Pada
saat yang hampir bersamaan beberapa kelompok muda juga turut bergabung
dalam NII, antara lain: Irfan Awwas –yang saat ini menjadi Ketua Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI)- dan saudaranya, Fihiruddin, -yang saat ini
lebih dikenal sebagai Abu Jibril. Abu Jibril awal tahun 2000-an
ditangkap pemerintah Malaysia karena diduga terlibat dalam kelompok
terror Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Saat ini ia masih aktif di
MMI. Pentingnya faktor kekerabatan atau persaudaraan dalam memjembatani
keterlibatan seseorang dalam organisasi radikal terjadi pada kasus Abu
Jibril. Anaknya yang bernama Muhammad Jibril pada akhir tahun 2000-an
dihukum penjara karena keterlibatannya dalam pendanaan gerakan
terrorisme di Indonesia.
Peran
sentral Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dalam pengembangan jejaring
gerakan islam radikal berlangsung melalui mobilisasi para mujahidin
–sebagaian besar terdiri dari para pemuda- untuk berjihad ke Afghanistan
pada akhir 1980-an. Mereka erangkat dari Malaysia tempat dimana
Ba’asyir dan Sungkar mengembangkan dakwahnya setelah melarikan diri dari
vonis pengadilan. Dari jejaring mujahidin inilah tunas kelompok radikal
Islam baru mulai muncul dan makin berkembang. Hingga sepulangnya dari
Afghanistan, mereka –yang kemudian dikenal luas sebagai bagian Jemaah
Islamiyah- terlibat dalam serangkaian aksi terror berdarah di Indonesia
pasca lengsernya Soeharto. Dari berbagai laporan yang dikeluarkan oleh
International Crisis Group (CGI) Indonesia ditemukan data-data penting
terkait dengan latarbelakang para mujahidin baru ini. Sebagian dari
mereka ternyata memiliki kaitan- baik langsung atau tidak langsung-
hubungan kesejarahan dengan saudara atau anggota keluarga lain yang
telah terlibat dalam perjuangan mendirikan Negara Islam, baik yang
melalui gerakan DI masa Kartosuwiryo, Komando Jihad, maupun gerakan lain
dengan ideology dan motif yang hampir sama. Farihin misalnya, salah
satu pelaku aksi pengeboman di Kedubes Filipina 1 agustus 2000, ternyata
masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pelaku terror pelemparan bom
di Cikini tahun 1957 (wawancara, 2011).
Dalih Jihad
Untuk
mengetahui motif apa saja yang melatari kelompok Islam radikal
melakukan aksi kekerasan, yang dianggapnya sebagai bagian dari jihad, di
tanah air lebih satu dasawarsa terakhir, dapat dilihat sekurangnya
melalui dua aspek. Pertama, alasan-alasan yang dinyatakan para pelaku
sendiri. Kedua, menjelaskan dengan menggunakan pedekatan akademis
melalui beberapa teori sosial. Ali Imron –pelaku pengeboman Legian Bali
12 Oktober 2002- menyatakan alasan-alasan mengapa dirinya melakukan
jihad pengeboman.
Pertama,
perasaan tidak puas terhadap pemerintahan yang ada. Tidak adanya imamah
–kepemimpinan dalam konsep NII- telah menyebabkan berbagai kerusakan
dan kemaksiatan, baik itu munculnya aliran-aliran sesat, pergaulan
bebas, hingga kaum harus tunduknya kepada kepemimpinan orang lain
(Amerika dan Barat-pen).
Kedua,
tidak diberlakukannya syariat islam secara menyeluruh. Melalui aksi
pengeboman ini Ia berharap memicu terjadinya revolusi yang menghantarkan
terbentuknya imamah dan pemberlakukansyariat islam secara menyeluruh.
Ketiga,
harapan terbukanya jihad fi sabilillah. Satu-satunya cara yang efektif
untuk melawan kemungkaran adalah dengan membuka medan jihad, yaitu
peperangan antara kebenaran dan kebatilan. Dengan melakukan pengeboman
yang menewaskan orang-orang asing di Bali, ia berharap akan membuka
medan peran antara kaum muslimin dan orang-orang kafir.
Keempat,
melaksanakan kewajiban jihad. Jihad adalah prang suci di jalan Allah,
menurutnya, dengan melibatkan diri dalam aksi pengeboman tersebut
berarti telah melaksanakan jihad di jalan Allah.
Kelima,
membalas kaum kafir. Tindakan bom bali dan pengeboman gereja-gereja di
malam natal merupakan aksi pembalasan terhadap kebiadaban zionis Israel
dan Amerika terhadap umat Islam baik yang ada di Palestina, Afghanistan,
Somalia, Kashmir, Chechnya, dan sebagainya. Juga pembalasan bagi pihak
Kristen terkait kasus Ambon dan Poso (Ali Imron, 2007).
Motif
pembalasan dendam terhadap terhadap Amerika, Israel dan para sekutunya
yang dianggapnya menjajah dan berlaku biadab terhadap dunia Islam juga
terlihat jelas pernyataan-pernyataanpara pelaku bom Bali lainnya (Ali
Ghufron alias Mukhlas, 2009, juga Amrozi bin Nurhasim, 2009, Samudera,
Samudra, 2004 dan 2009). Hal ini antara lain yang membedakan dengan
justifikasi-justifikasi yang melatari tindakan terror oleh kelompok
Islam pada masa-masa sebelumnya yang lebih dimuati isu-isu domestik
bukan isu global.
Penjelasan
secara akademis sangat berlimpah dalam upayanya menjelaskan aspek-aspek
terrorisme. Pendekatan ekonomi politik menekankan marginaliasi ekonomi
dan deprivasi sebagai faktor utama (Ted Robert Gurr, 2006).
Faktor piskologis para individu pelaku terror telah diteliti juga antara
lain oleh Jerold M. Post (2007) dan John P. Horgan (2011), pendekatan
sejarah oleh Walter Laqueuer (1999, 2001), pendekatan gerakan sosial
oleh Charles Tilly (2001) dan Della Porta (2002). Berkembangnya banyak
pendekatan ini menunjukkan bahwa masalah terrorisme adalah bersifat
kompleks. Salah satu teori gerakan sosial yang sangat menarik dalam
menjelaskan mengapa kelompok-kelompok Islam memilih jalan kekerasan
dalam mencapai tujuan politiknya antara lain muncul dalam penelitian
Mohammaed Hafez (2007) terhadap gerakan terror kelompok Islamis GIA
(Group Islamique Army) di Aljazair. Ringkasnya pendekatan yang dibingkai
dalam violence and contention ini mendalilkan: (1) represi
negara telah memunculkan suatu linghkungan politik perpecahan dan
brutalitas; (2) para pemberontak (pihak yang ditindas) membentuk
organisasi-organisasi eksklusif untuk melindungi diri mereka dari
tindakan repressif; (3) para pemberontak mengembangkan bingkai-bingkai
anti sistem untuk memotivasi tindakan kolektif unutk menggulingkan
pemerintah. Faktanya memang munculnya terror dari kelompok Islamis,
terutama awal hingga tengah 1990-an, berlangsung di tengah negara yang
repressif setelah pembatalan kemenangan Partai Islam FIS dalam pemilu
Aljazair.
Pendekatan
ini agaknnya sulit untuk menjelaskan terjadinya terror dan tindakan
radikal lain oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang malah muncul
di era transisi demokrasi, dimana rezim yang repressif Orde Baru telah
usai. Berbeda dengan apa yang terjadi di Aljazair, terror dengan dalih
jihad di Indonesia justru berlangsung seiring dengan terjadinya transisi
demokrasi yang membuka ruang bagi banyak pihak berpartisipasi .
Beberapa kelompok Islamis yang dulunya radikal memang memanfaatkan
dengan baik kesempatan bermain dalam sistem, misalnya: Abdul Qadir
Djaelani, A.M. Fatwa, Ahmad Yani, Umar Abduh, Hilmy Aminuddin, tetapi
sebagian msulim yang lain memilih menutup diri dari demokrasi, dan lebih
memilih jalan radikal.
ISIS di Indonesia
Salah
satu perkembangan yang penting dicatat saat ini adalah semakin kuatnya
pengaruh dinamika politik di dunia Islam terhadap perkembangan gerakan
Islam di tanah air. Kaitan global-nasional ini telah dapat dilihat
semenjak revolusi Iran 1979, kemudian perang Afghanistan 1980-an hingga
1990-an, perang di Chechnya, serta yang belakangan konflik dan perang di
Irak, Syiria, dan beberapa wilayah lain di Timur Tengah. Sejumlah orang
Indonesia tercatat terlibat dalam perang di Syiria. BNPT mencatat lebih
kurang 30, sebagian menyebut 50-an. Diantaranya langsung berangkat
dari Indonesia dan sebagian lain adalah para pelajar yang ada di Sudan,
Yaman dan Mesir. Sekurangnya 2 orang dilaporkan meninggal, satu bernama
Reza Fardi alias Abu Muhammahad al Indunisy (alumni Pondok Al Islam
Ngruki) dan satu yang terakhir Wildan Mukhollad alias Abu Bakar al
Muhajir setelah melakukan aksi bom bunuh diri (istismata) di Irak sebagai martir ISIS, sebuah gerakan radikal baru pecahan dari al Qadah. ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria/ Syam)
terbentuk pada 3 Januari 2014 dan mendeklarasikan kekhalifahan pada 29
Juni 2014. Ideologi ISIS dicirikan sebagai salafy jihadi, wahhabism,
kekhalifahan, serta sikap anti syi’ah yang kuat. Saat ini sebagai
khalifah bentukan ISIS adalah Abu Bakr al-Baghdadi. Tidak mau kalah
dengan ISIS, faksi al Qaidah Jabath Nusroh beberapa waktu kemudian
mengumumkan kekuasaan “Emirat Islam” di wilayah yang mereka kuasai. Pun
demikian, gerakan Boko Haram di Somalia pada Agustus 2014 juga
mendeklarasikan kekhalifahan Islam dengan pimpinan mereka sebagai
khalifahnya.
Di
Indonesia sendiri, respons (dukungan) gerakan garis radikal terhadap
ISIS sangat cepat. Pada Februari, sejumlah kelompok Islam yang berjumlah
ratusan yang menamakan diri sebagai Forum Aktvis Syariat Islam (FAKSI)
menyatakan bai’atnya kepada amir ISIS. Salah atu bunyi bai’at yang
dibacakan ustadz Abu Sholih at- Tamorowi menyatakan,
“Demi
Allah, sungguh kami dan seluruh kaum muslimin bernahagia dengan Daulah
Islam Iraq dan Syam (ISIS) yang insya alloh akan menjadi cikal bakal
Khilafah Islamiyah Ala Minhajin Nibuwwah” .
Setelah
ISIS mendeklarasikan khilafah Islamiyah pada 29 Juni 2014, maka
seminggu kemudian ratusan orang dengan bendera FAKSI tangal 6 Juli 2014
menyatakan baiat nya kepada kekhilafahan ISIS. Sebagain besar peserta
berasal dari beberapa daerah di Jawa Barat, banten, Lampung dan Riau.
Dalam baiat yang dipimpin Abu Zakariyya mereka menyatakan
“
Saya berbaiat kepada amirul mukminin Abu Bakar al Baghdadi al Quraysi
untuk mendengar dan taat kepada kondisi susah dan mudah. Pada konsisi
diam dan malas. Dan walaupun hak kami ditelantarkan. Serta saya, tidak
akan merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali saya melihat kekafiran
yang nyata, yang saya memiliki dalil yang nyata di dalamnya dari Allah.
Allahu Akbar”
Dalam
waktu yang tidak berapa lama, sejumlah ormas Islam di Solo, Jakarta,
Bekasi, dan Bima juga menyatakan baiatnya secara demonstratif. Di
Bekasi, deklarasi dilakukan oleh perkumpulan yang menamakan diri Kongres
Umat Islam. Sebenarnya bila dilihat dari aspek ideology, adanya
dukungan yang cukup massif ini bukanla hal yang mengejutkan. Sebab,
sejumlah ormas atau kelompok Islam Indonesia yang memberi dukungan dan
baiatnya kepada ISIS memiliki akar ideologis yang tidak begitu beda,
yakni pembentukan kekhilafahan Islam. Beberapa aktifis yang berperan
penting dalam aksi dukungan itu berasal dari organisasi Jamaah Anshorut
Tauhid (JAT), Salafi Jihadi Aman Abdurrahman, dan beberapa kelompok
kecil yang lain. Abu Bakar Baasyir dari LP Nusakambangan dilaporkan juga
memberikan baiat nya kepada kekhilafahan Islamiyah bentukan ISIS.
Belakangan pimpinan Gerakan reformis Islam (Garis) Cianjur, menyatakan
diri sebagai Presiden ISIS Indonesia.
Namun
begitu, tidak semua gerakan Islam garis keras memberikan dukungan.
Hizbut Tahrir misalnya, meski menginginkan kekhilafahan Islam, tetapi
menolak mengakui deklarasi kekhilafahan Islam al Baghdadi. Beberapa
aktifis JAT juga menyatakan penolakan dengan memisahkan diri dan
membentuk organisasi baru bernama Jammah Anshorus Syariah (JAS).
Penolakan yang sama dinyatakan oleh pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI).
Bagaimana
menafsirkan dinamika ini? Pada satu atau beberapa aspek adanya berbagai
dukungan kepada ISIS memperlihatkan bahwa radikalisasi dalam gerakan
Islam di tanah air masih berlangsung. Mereka yang menghendaki
kekhilafahan Islam masih cukup signifikan. Meski belum jelas ada atau
tidaknya hubungan langsung (sebagai sebuah jaringan) dengan gerakan ISIS
di Irak/ Syiria, tetapi mereka mengikuti betul berbagai dinamika Islam
yang terjadi di kawasan Arab. Tetapi, ada juga yang sinis dengan melihat
“ISIS-isasi” sebagai sebuah jenis proyek lain yang tak banyak berhubungan dengan radikalisasi Islam di tanah air. Wassalam..
[1]
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pengamat gerakan politik Islam dan menulis buku berjudul
Genealogy Islam Radikal di Indonesia (LP3ES, 2008). Makalah
dipresentasikan untuk Diksusi CRCS, 4 September 2014. Versi awal
tulisan dari ini telah dibawakan dalam Diskusi di Indonesia di Institut
Peradaban Jakarta 3 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar