Dunia internasional secara umum dan
negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir
orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak
umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran
mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC
pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan,
ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ.
Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput
darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad
bin Nayif Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.
Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di
belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang
diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk
bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan
ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa
pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?
Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?
Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin. Di antara catatan harian Dr Aiman al-Zawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:
أَنَّ سَيِّدَ قُطُبٍ هُوَ الَّذِيْ وَضَعَ دُسْتُوْرَ
التَّكْفِيْرِييِْنَ الْجِهَادِيِيْنَ) فِيْ كِتَابِهِ الدِّيْنَامِيْتِ
مَعَالِمَ عَلَى الطَّرِيْقِ، وَأَنَّ فِكْرَ سَيِّدٍ هُوَ (وَحَدَهُ)
مَصْدَرُ اْلأَحْيَاءِ اْلأُصُوْلِيْ، وَأَنَّ كِتَابَهُ الْعَدَالَةَ
اْلاِجْتِمَاعِيَّةَ فِيْ اْلإِسْلاَمِ يُعَدُّ أَهَمَّ إِنْتَاجٍ
عَقْلِيٍّ وَفِكْرِيٍّ لِلتَّيَّارَاتِ اْلأُصُوْلِيَّةِ، وَأَنْ فِكْرَ
سَيِّدٍ كاَنَ شَرَارَةَ الْبَدْءِ فِيْ إِشْعَالِ الثَّوْرَةِ (الَّتِيْ
وَصَفَهَا بِاْلإِسْلاَمِيَّةِ) ضِدَّ (مَنْ سَمَّاهُمْ) أَعْدَاءَ
اْلإِسْلاَمِ فِيْ الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ، وَالَّتِيْ مَا زَالَتْ
فَصُوْلُهَا الدَّامِيَةُ تَتَجَدَّدُ يَوْماً بَعْدَ يَوْمٍ
“Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu
“Ma’âlim Fî At-Tharîq’ meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad.
Gagasan-gagasan Sayyid Quthublah yang selama ini menjadi sumber
bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaima kitab beliau yang berjudul ”
Al-’Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm” merupakan. Hasil pemikiran logis
paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan
Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi
yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya
musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan
berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”
Pengakuan Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M.
Pengakuan Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M.
“Tanpa ada keraguan sedikitpun, aku katakan bahwa sesungguhnya
seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula
dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah
banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami
yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai
masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas
hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh
telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”
Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan: “Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”
Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan: “Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”
Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:
Nukilan 1 :
نَحْنُ نَدْعُوْ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَيَاةٍ إِسْلاَمِيَّةٍ فِيْ
مُجْتَمَعٍ إِسْلاَمِيٍّ تَحْكُمُهُ الْعَقِيْدَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ
وَالتَّصَوُّرُ اْلإِسْلاَمِيُّ كَمَا تَحْكُمُهُ الشَّرِيْعَةُ
اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالنِّظَامُ اْلإِسْلاَمِيُّ. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ
الْحَيَاةَ اْلإِسْلاَمِيَّةَ عَلَى هَذَا النَّحْوِ قَدْ تَوَقَّفَتْ
مُنْذُ فَتْرَةٍ طَوِيْلَةٍ فِيْ جَمِيْعٍ ِلأَنْحَاءِ اْلأَرْضِ، وَإِنَّ
وُجُوْدَ اْلإِسْلاَمِ ذَاتِهُ مِنْ ثَمَّ قُدْ تَوَقَّفَ كَذَالِكَ
“Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di
satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada
akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana
masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undang-undang yang Islami. Saya
menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak
jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga
telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182].
Nukilan 2 :
وَحِيْنَ نَسْتَعْرِضُ وَجْهَ اْلأَرْضِ كُلَّهُ اْليَوْمَ عَلَى ضَوْءِ
هَذا التَّقْرِيْرِ اِْلإلَهِيْ لِمَفْهُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلإِسْلاَمِ،
لاَ نَرَى لِهَذَا الدِّيْنِ وُجُوْدًا
“Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi
berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini,
niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.” [Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183].
Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah membaca ucapan ini?
Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub –semoga Allah mengampuninya–
melalui bukunya yang oleh Dr Aiman Al-Zawâhiri disebut sebagai
“Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung
ke dalam barisannya.
Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat
secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika
menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “Tempat peribadahan Jahiliyah“. Sayyid Quthub berkata:
اعْتِزَالُ مَعَابِدِ الْجَاهِلِيَّةِ وَاتِّخَاذُ بُيُوْتِ الْعِصْبَةِ
الْمُسْلِمَةِ مَسَاجِدَ. تُحِسُّ فِيْهَا بِاْلاِنْعِزَالِ عَنِ
الْمُجْتَمَعِ الْجَاهِلِيِّ؛ وَتُزَاوِلُ فِيْهَا عِبَادَتَهَا لِربِّهَا
عَلَى نَهْجٍ صَحِيْحٍ؛ وتُزَاوِلُ بِالْعِبَادَةِ ذَاتِهَا نَوْعاً مِنَ
التَّنْظِيْمِ فِيْ جَوِّ الْعِبَادَةِ الطَّهُوْرِ
“Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka
meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan
rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan
keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri
dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan
kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan
mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhîm
dalam nuansa ibadah yang suci.”
Yang dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Yang dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi
semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih
nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:
لِهَذِهِ اْلأَسْبَابِ مُجْتَمِعَةً فَكَّرْنَا فِيْ خِطَّةٍ
وَوَسِيْلَةٍ تَرُدُّ اْلاِعْتَِدَاءَ .. وَالَّذِيْ قُلْتُهُ لَهُمْ
لِيُفَكِّرُوْا فِيْ الْخِطَّةِ وَالْوَسِيْلَةِ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُمْ
هُمُ الَّذِيْنَ سَيَقُوْمُوْنَ بِهَا ِبِمَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ مِنْ
ِإمْكَانِيَاتٍ لاَ أَمْلِكُ أَنَا مَعْرِفَتَهَا بِالضَّبْطِ وَلاَ
تَحْدِيْدَهَا…….. .. وَهَذِهِ اْلأَعْمَالُ هِيَ الرَّدُّ فَوْرَ وُقُوْعِ
اعْتِقَالاَتٍ ِلأَعْضَاءِ التَّنْظِيْمِ بِإِزَالَةِ رُؤُوْسٍ فِيْ
مَقْدَمَتِهَا رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ وَرَئِيْسُ الْوِزَارَةِ
وَمُدِيْرُ مَكْتَبِ الْمُشِيْرِ وَمُدِيْرُ الْمُخَابِرَاتِ وَمُدِيْرُ
اْلبُوْلِيْسِ الْحَرْبِيْ، ثُمَّ نَسْفٌ لِبَعْضِ الْمَنْشَآتِ الَّتِيْ
تَشِلُ حَرَكَةً مَوَاصَلاَتِ الْقَاهِرَةِ لِضِمَانِ عَدَمِ تَتَبًّعِ
بَقِيَّةِ اْلإِخْوَانِ فِيْهَا وَفِيْ خَارِجِهَا كَمَحَطَّةِ
الْكَهْرَبَاءِ وَالْكِبَارِيْ،
“Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya
memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku
pernah katakan kepada para anggota jama`ah: “Hendaknya mereka memikirkan
suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah
yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan
potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang
tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya …… Tindakan
kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota
organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan
pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan
pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan
juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan mengebom berbagai infrastruktur
yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam
dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit
listrik dan jembatan layang.” [Limâzâ A’adamûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55]
Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber
pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman
ini.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan
Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah
terpecah menjadi tiga aliran:
1. Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
نَجْتَمِعُ عَلَى مَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمًا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ
“kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita”.
Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.
Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.
2. Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “Tempat peribadatan jahiliyyah”.
Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari
penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâsir, ia pun menyeru
pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana
diutarakan di atas.
3. Aliran Muhammad Surûr Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan
dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap
Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian
Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul
Azîz di atas.
Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh
gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan paham yang
diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti-pati dengan segala bentuk kesyirikan
dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh
Ikhwânul Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara
inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah
faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya
sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran
aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat
istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd hakimiyyah.
Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari
kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda
Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub
yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu
ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd hakimiyyah
ini:
تَقُوْمُ نَظَرِيَّةُ الْحُكْمِ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَى أَسَاسِ
شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَمَتَى تَقَرَّرَ أَنَّ
اْلأُلُوْهِيَّةَ ِللهِ وَحْدَهُ بَهَذِهِ الشَّهَادَةِ، تَقَرَّرَ بِهَا
أَنَّ الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ ِللهِ وَحْدَهُ. وَاللهُ
سُبْحَانَهُ يَتَوَلَّى الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ عَنْ
طَرِيْقٍ أَمَرَهُمْ بِمَشِيْئَتِه وَقَدْرِهِ مِنْ جَانِبٍ، وَعَنْ
طَرِيْقِ تَنْظِيْمِ أَوْضَاعِهِمْ وَحَيَاتِهِمْ وَحُقُوْقِهِمْ
وَوَاجِبَاتِهِمْ وَعَلاَقَاتِهِمْ وَارْتِبَاطَاتِهِمْ بِشَرِيْعَتِهِ
وَمَنْهَجِهِ مِنْ جَانِبٍ آخَرَ…. وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ
لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُوْمَ اْلبَشَرُ بِوَضْعِ أَنْظِمَةِ الْحُكْمِ
وَشَرَائِعِهِ وَقَوَانِيْنِهِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ؛ ِلأَنَّ هَذَا
مَعْنَاهُ رَفْضُ أُلُوْهِيَّةِ اللهِ وَادِّعَاءِ خَصَائِصِ
اْلأُُلُوْهِيَّةِ فِيْ الْوَقْتِ ذَاتِهِ، وَهُوَ اْلكُفْرُ الصَّرَاحُ
“Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa
tiada ilâh yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian
ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada
Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam
kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu
sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia
dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla
jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan
hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan
ajaran-ajaran-Nya…… Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan
untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan
menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat
ulûhiyyah Allah Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat
sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata
perbuatan kafir.” [Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80]
Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan: “Sungguh,
sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali
agama Islam menyeru umat manusia kepada “lâ ilâha illallâhu”. Sungguh,
saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami
penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari “lâ ilâha
illallâhu”. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang
ucapan “lâ ilâha illallâhu”, akan tetapi tanpa memahami kandungannya.
Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan
kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat
“al-hakimiyah” pada dirinya. Padahal “al-hakimiyah” adalah sinonim
dengan “al- ulûhiyah “.
Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?
Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?
Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam
Islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub
sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah . Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari
rubûbiyyah Allah Azza wa Jalla . Karenanya, setelah mengisahkan tentang
penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, Allah Azza wa
Jalla berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha
suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah
diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas”. [al A’râf/7:54-55]
Pada ayat 54, Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan
memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah Azza
wa Jalla . Pada ayat selanjutnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar
kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa
dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat
bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai
dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding
al- ulûhiyah.
Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya
untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding
urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak
terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia
dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya
membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub
yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan
yang menurut saya cukup bagus dan layak di tiru ialah:
1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari
perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab:
Sayyid Quthub Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh
2. Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna
meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur
meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif,
dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh
pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat
yang sewajarnya.
Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya
mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri
Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business
Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26
April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya bin Lâdin.
Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan
ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh dari
kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya
yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan
bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan
sebagai sarang ideologi tersebut.
Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia
bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah
sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan
yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam
membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah
Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas
berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak
jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut
dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo
dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.” [Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]
Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru
bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan
ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita. Salawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan
Sahabatnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Judul asli: Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam
Penulis: Al Ustadz Muhammad Arifin Baderi, MA
Artikel www.almanhaj.or.id, dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar