Nama ISIS tiba-tiba menggumpal menjadi gerakan transnasional yang menakutkan. Tidak hanya tangguh melibas ratusan tentara Irak dengan berani. Tapi juga sadisme yang diunggah di situs youtube.com. Selain menerapkan hukuman mati massal terhadap para tawanan, mereka juga melakukan pembantaian jalanan terhadap penduduk sipil. Bahkan, milisi radikal pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ini berencana akan menyerang ibu kota Vatikan, Roma, dan mengajak umat Muslim migrasi ke sana. “Selama ini kaum Muslim telah menjadi sasaran pembunuhan di seluruh dunia, dimulai dari Tiongkok hingga Indonesia,” kata mereka. Sehingga pemerintahan Jokowi-JK secara tak proporsional memosisikan ISIS sebagai ancaman berbahaya melebihi Komunis, Syi’ah, Sepilis dan aliran sesat lainnya.
Risalah Mujahidin – DAISY (Ad-Daulah al-Islamiyyah
fie al-Iraq wa Syam) yang kemudian lebih mendunia dengan nama ISIS
(Islamic State in Iraq and al-Sham), yang dideklarasikan oleh Abu Bakar
al-Baghdadi pada tanggal 9 April 2013, merupakan negara baru, sekalipun
tak satu pun negara di dunia ini yang mengakuinya sebagai negara yang
berdaulat. Dalam sebuah rekaman suara yang disiarkan pada Ahad, 29 Juni
2014, milisi bersenjata pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu menyatakan,
berdirinya khilafah dan menjadi pemimpin bagi umat Muslim di seluruh
dunia, seperti diberitakan Al-Jazeera, Senin, 30 Juni 2014.
Dalam siaran tersebut, Baghdadi mengumumkan, bahwa ISIS saat ini
telah menjadi sebuah Negara Islam, yang batas wilayahnya diklaim
meliputi sepanjang garis lurus Provinsi Diyala, Irak, hingga Provinsi
Aleppo, Suriah.
“Dewan Syura Negara Islam telah bertemu dan membicarakan masalah
khilafah. Negara Islam memutuskan membentuk khilafah Islam dan menunjuk
seorang khalifah untuk negara-negara Islam,” ucap juru bicara ISIS, Abu
Mohammad al-Adnani.
Kendati secara de jure belum mendapat pengakuan
negara-negara lain, tapi klaim setahun lalu, tepatnya Maret 2014, ISIS
telah menguasai wilayah seluas 400.000 km2 yang ada di wilayah Irak dan
Suriah. Klaim itu menggambarkan wilayah kekuasaannya lebih luas dari
beberapa negara Arab seperti Qatar, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, dan
Lebanon.
Eksistensi ISIS sebenarnya memiliki kaitan erat dengan gerakan jihad
global, yang menghimpun berbagai unsur berbeda untuk bertempur di Irak
dan Suriah melawan rezim penguasa Bashar Assad. Di medan tempur, mereka
terbagi-bagi di bawah sejumlah front perlawanan. Dengan kondisi
tersebut, dimunculkanlah nama organisasi yang menyebut dirinya
“Ad-Daulah Al-Islamiyah” (Islamic State). Nama itu, ternyata
memiliki kekuatan magnet spiritual yang sangat kuat, sehingga mampu
memikat banyak pasukan dari berbagai daerah di medan perang untuk
menyatakan kesetiaannya di bawah organisasi payung yang besar.
Al-Jazeera memberitakan, mayoritas pasukan organisasi Daulah
Islamiyah ada di Suriah. Pasukan itu terdiri dari orang-orang Suriah,
namun mayoritas personil pasukan datang dari luar Suriah yang sebelumnya
memiliki pengalaman perang di Irak, Chechnya, Afghanistan dan berbagai
medan tempur lainnya. Sebaliknya di Irak, mayoritas pasukan Daulah
Islamiyah adalah orang-orang Irak sendiri. ISIS mengklaim memiliki
pejuang dari Inggris, Prancis, Jerman, dan negara Eropa lainnya, seperti
AS, dunia Arab dan negara Kaukakus.
Propaganda ISIS
Magnet spiritual ISIS bahkan mampu menembus tembok penjara di
berbagai negara. Contohnya, sekelompok narapidana terorisme di penjara
Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, ditengarai pernah mendeklarasikan
kesetiaannya pada Khalifah Al-Baghdadi. Bahkan di beberapa daerah, juga
diisukan adanya kelompok yang melakukan baiat kepada Baghdadi, tidak
peduli kejahatan yang dilakukan ISIS dan di mana pun dia berada. Yang
penting, kata mereka, ada tokoh yang menyuarakan Negara Islam dan telah
membuktikan keberhasilan langkah militernya untuk menguasai sebuah
negara.
Lebih heroik lagi, sejumlah keluarga dari Makasar, Lamongan, Solo,
Surabaya, Jawa Barat, Jakarta, telah hijrah ke Irak dan Suriah untuk
bergabung dengan ISIS. Diperkirakan terdapat lebih dari 600 warga negara
Indonesia di Suriah, tapi tentu saja tak semuanya bergabung dengan
ISIS. Seperti diungkap oleh mantan koordinator ISIS Indonesia, Chep
Hernawan, mengaku telah memberangkatkan 156 orang ke Suriah pada April
2014. “Saya memberikan uang tunai kepada setiap orang yang
diberangkatkan,” katanya.
Propaganda video berisi ajakan dari sekelompok warga Indonesia untuk
bergabung ke Negara Islam Irak dan Suriah pun gencar dilakukan, dan
dengan mudah ditemukan karena diakses bebas di situs Youtube.
Video seorang pengikut ISIS asal Indonesia, yang menantang TNI dan
terlihat sedang melatih anak-anak berperang ala militer sekarang menjadi
bulan-bulanan pemberitaan media di seantero negeri.
ISIS yang menimbulkan kontroversi di Irak dan Suriah, sebenarnya
bukanlah ancaman potensial bagi Indonesia. Belum ada, secara konkret
bahaya yang ditimbulkan, selain wacana. Tetapi, di mata pemerintah ISIS
seperti menganggap kucing sebagai harimau. Tragisnya, malah dijadikan
momentum serta dagangan laris manis oleh kaum Islamophobia, terutama
Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Tujuannya, menggiring
opini yang merusak citra jihad Islam, seakan para mujahid yang berjuang
menegakkan syariat Islam identik dengan teroris yang kerap melakukan
teror, mudah mengafirkan, dan bertindak penuh dengan kekerasan terhadap
sesama Muslim.
Nama ISIS dalam bahasa Arab disebut Ad-Daulah al-Islamiyyah fie al-Iraq wa Syam, sementara dalam bahasa Inggris ditulis dalam beberapa versi. Ada yang menyebutnya Islamic State in Iraq and the Levant (ISIL) atau Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Terakhir diberi nama Islamic State (IS) saja. Sedangkan masyarakat Indonesia menerjemahkannya sebagai Negara Islam Irak dan Suriah.
Pada awalnya organisasi Ad-Daulah Al-Islamiyyah terbagi dua, yakni
Daulah Islamiyah Iraq yang di media massa dikenal dengan nama “Daisy”.
Organisasi ini berafiliasi pada kelompok Tauhid wal Jihad yang didirikan
tokoh berkebangsaan Yordania, Ahmad Fadhil Nazzal al-Khalaylah yang
populer dengan nama Abu Musa Az-Zarqawi di Irak pada tahun 2004 pasca
invasi militer AS ke Irak. Organisasi yang kedua adalah Jabhah Nushrah
(Front Kemenangan) di Suriah yang dipimpin oleh Syeikh Muhammad
Al-Jaulany.
Sosok Az-Zarqawi yang dilahirkan di sebuah daerah pemukiman kumuh dan
miskin di Kota Zarqa, Yordania, 20 Oktober 1966, ini penting kaitannya
dengan ideologi ISIS. Sewaktu muda Az-Zarqawi beberapa kali melakukan
kenakalan remaja yang menyebabkannya menghuni penjara Zarqa. Saat
menginjak dewasa, keberaniannya terarahkan kepada semangat jihad yang
tumbuh setelah menjadi aktivis Masjid Abdullah bin Abbas, di Yordania.
Suatu ketika di tahun 1980, dengan semangat jihad yang bergelora,
Az-Zarqawi berangkat menuju Afghanistan. Bersama ratusan ribu mujahidin
lainnya, Az-Zarqawi bertekat menumpas dan mengusir pasukan komunis Uni
Soviet dari wilayah Afghanistan. Ketika itu, spirit jihad yang sama juga
memotivasi pemuda-pemuda mujahid dari Indonesia untuk berangkat ke
medan jihad Afghanistan, yang kemudian media massa sekarang mengenalnya
sebagai para ‘Alumni Afghan’.
Pada tahun 1989, di medan jihad Afghanistan, Az-Zarqawi berkenalan
dengan seorang ulama serta penggagas strategi jihad global yang berperan
besar dalam pergerakan jihad dunia, yaitu Isham Al-Burqawi yang lebih
populer dengan nama Abu Muhammad Al-Maqdisi.
Usai perang Afghan, Az-Zarqawi kembali ke tanah kelahirannya,
Yordania, dan mengajak serta sang guru spiritual Al-Maqdisi. Di Yordan,
perjuangan dimulai dengan menggelar pengajian, pendidikan tauhid dan
penanaman fikrah jihad di masjid-masjid serta majelis ta’lim. Selain itu
mereka membentuk sebuah gerakan bernama Jama’ah Tauhid yang hanya
seumur jagung, karena pada awal tahun 1994, Az-Zarqawi bersama
Al-Maqdisi dan banyak anggota Jama’ah Tauhid ditangkap aparat keamanan
Yordania. Mereka dijebloskan ke penjara gurun Sawaqah selama beberapa
tahun.
Di dalam penjara, selain menjadi murid setia Al-Maqdisi, Az-Zarqawi
juga terus berdakwah dan memimpin para tahanan dari berbagai manhaj.
Latar belakang dan karakternya yang pemberani, terus terang tanpa tedeng aling-aling membuatnya disegani para tahanan lain. Sehingga dalam waktu singkat banyak tahanan menjadi pengikut atau simpatisan Az-Zarqawi.
Pada tahun 1999, Az-Zarqawi dan kelompoknya mendapat amnesti penuh
dari Raja Abdullah II yang baru naik tahta kerajaan. Dari dua opsi yang
diberikan pihak kerajaan, hidup tenang dan tidak macam-macam, atau
segera meninggalkan Yordania, Az-Zarqawi memilih pergi ke Pakistan untuk
selanjutnya kembali memasuki medan jihad Afghanistan.
Saat itu, Afghanistan di bawah dominasi Thaliban dan Al-Qaeda. Tapi
tipikal Az-Zarqawi yang keras, kurang suka dengan gaya Al-Qaeda dan
Thaliban yang menurutnya terlalu lembek pada musuh. Bagi Az-Zarqawi,
cara terbaik menghajar musuh adalah menyakitinya sekeras mungkin, dengan
berdarah-darah dan habis-habisan, sehingga takluk tanpa mampu bangkit
lagi untuk melakukan balas dendam.
Oleh karena itu, tawaran bergabung dengan Al-Qaeda atau Thaliban
ditampiknya. Dia memilih membangun kesatuan tempur sendiri yang
dinamainya Jundusy Syam, sebuah pasukan khusus dengan anggota sekitar
80-100 orang yang sangat militan dan piawai berperang dalam beragam
strategi. Pasukan kecil ini beranggotakan para jago tempur hasil seleksi
tangan dingin Az-Zarqawi. Kendati tidak sepakat dengan gaya Al-Qaeda
dan Thaliban, tapi pasukan Jundusy Syam beberapa kali terlibat operasi
perang bersama.
Suatu ketika pada akhir tahun 2001, invasi Amerika menghantam kamp
pusat operasional Az-Zarqawi di daerah Herat, Afghanistan. Tapi
Az-Zarqawi lolos dan berhasil menyelamatkan diri ke Kandahar, salah satu
basis terbesar dan utama Al-Qaeda dan Thaliban. Di Kandahar, bersama
ribuan mujahidin lainnya Az-Zarqawi berjibaku melawan gempuran hebat
ribuan ton bom imprialis Amerika dan puluhan ribu koalisi anti Thaliban.
Kendati banyak yang korban, Az-Zarqawi dan para tokoh jihad seperti
Osamah bin Laden berhasil lolos untuk ke sekian kalinya dari kepungan
dan serangan dahsyat di daerah Tora Bora.
Setelah dominasi Thaliban dan Al-Qaeda mulai redup di Afghanistan,
Az-Zarqawi melawat ke negeri Syi’ah Iran. Kepergiannya itu untuk
mengadakan pertemuan dengan sisa-sisa kelompoknya, sekaligus menetapkan
pilihan menjadikan Irak sebagai medan jihad baru. Irak harus dijadikan
medan maut tentara imperialis Amerika. Pendapat Az-Zarqawi saat itu
menimbulkan keraguan banyak pihak, karena saat itu Amerika belum
melakukan invasi ke negeri Saddam Husein itu. Namun, 2 tahun kemudian
prediksi Az-Zarqawi terbukti. Pada tahun 2003, Amerika melakukan invasi
besar-besaran dengan tuduhan Irak memiliki pabrik bom nuklir di bawah
tanah, yang sampai saat ini fitnah tersebut tidak bisa dibuktikan oleh
pemerintah kafir Amerika.
Pada tahun 2006, atau tiga tahun pasca invasi Amerika ke Irak,
Az-Zarqawi menyatakan kesetiaannya pada pemimpin Al-Qaeda, Osama bin
Laden. Dia meminta organisasi Jundusy Syam yang dipimpinnya menjadi
bagian dari Al-Qaeda. Selanjutnya, pada tahun yang sama, dibentuk Dewan
Syura Mujahidin di bawah kepemimpinan Abdullah Rasyid Al-Baghdadi.
Ironisnya, pada pertengahan 2006 Az-Zarqawi terbunuh oleh serangan
pasukan kafir Amerika. Kondisi itu membuat kepemimpinan Daulah Islamiyah
beralih ke Abu Hamzah Al-Muhajir atau populer dengan nama Abu Umar
Al-Baghdadi. Namun, 4 tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 April 2010,
tentara kafir Amerika di Irak berhasil membunuh Abu Umar. Dalam waktu
sekitar sepuluh hari, Dewan Syura kemudian menyelenggarakan pertemuan
untuk memilih pimpinan baru. Hasil musyawarah, pada 16 Mei 2010, adalah
mengangkat Abu Bakr Al-Baghdadi sebagai pengganti kepemimpinan Daulah
Islamiyah Iraq.
Mujahid atau Teroris
Terpilihnya Abu Bakr Al-Baghdadi sebagai pimpinan Daulah Islamiyah
Iraq menggantikan Abu Umar membawa atmosfer baru. Abu Bakar Al-Baghdadi,
menurut salah satu sumber, aslinya bernama Ibrahim Awwad Ibrahim Ali
Al-Badri Al-Samarrai. Lahir pada tahun 1971, di Samarra, Dayali yang
terletak di Irak Timur, daerah yang mayoritas penduduknya beragama
Syi’ah.
Popularitas Abu Bakar Al-Baghdadi mulai melejit setelah organisasi
Ad-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq berdiri di tahun 2006. Sebelumnya ia
hanyalah salah satu tokoh organisasi Al-Qaeda pimpinan Ayman
Az-Zawahiri. Saat invasi militer AS ke Irak tahun 2003, Al-Baghdadi
bergabung dengan Al-Qaeda di bawah kepemimpinan Osamah bin Laden.
Al-Baghdadi pernah ditangkap tentara Amerika sejak interval tahun
2004-2009. Ia ditahan di Kamp Bucca AS di selatan Irak hanya 10 bulan,
Februari-Desember 2004, dan setelah itu ia diserahkan ke pihak berwenang
Irak pada tahun 2009. Selanjutnya Al-Baghdadi diketahui kembali aktif
di kawasan Irak pada tahun 2006. Sepanjang tahun 2005 tak ada yang
mengetahui keberadaan Al-Baghdadi. Hasil analisa para pengamat politik
sebagaimana dilansir Reuters, menengarai sepanjang tahun 2005 itulah Al-Baghdadi sedang menjalani pelatihan oleh Mossad di Yordania.
Saat muncul dan aktif kembali pada 2006, Al-Baghdadi bergabung ke
dalam organisasi Mujahidin Shura Council (MSC). Al-Baghdadi kemudian
mengubah nama MSC menjadi Negara Islam Irak (ISI), untuk selanjutnya
pada 16 Mei 2010 menjadi pimpinan tertingginya. Selama aktif di ISI
diketahui Al-Baghdadi ikut beroperasi bersama organisasi militan
Al-Qaeda di Irak (AQI-Irak).
Pada tanggal 9 April 2013, lewat sebuah rekaman suara, menyatakan
Jabhah Nushrah (Front Kemenangan) di Suriah dan Daulah Iraq Islamiyyah
melebur menjadi satu organisasi dengan nama Ad-Daulah Al-Islamiyah fil Iraq wa Asy-Syam. Dari sinilah awal terbentuknya organisasi yang kemudian dikenal oleh media asing dengan istilah ISIS atau ISIL.
Awalnya, Jabhah Nushrah menerima bergabung dengan ISIS. Namun,
beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan, bahkan kontak senjata.
Pasalnya, di sejumlah lokasi yang dikuasai, dikabarkan pasukan ISIS
menerapkan sikap kejam dalam penerapan aturan yang mengatasnamakan
syariat Islam; dengan menghukum mati sejumlah tokoh kabilah.
Pasukan yang tampil dalam kostum hitam-hitam dengan wajah tertutup
itu menebarkan wabah ketakutan di berbagai belahan dunia. Tidak hanya
menerapkan hukuman mati massal terhadap tawanan perang saat menyerbu
beberapa wilayah di Irak dan Suriah. Namun, mereka juga menebarkan maut
di jalanan umum dengan menembaki warga sipil secara membabi buta.
Kekejaman itu dengan bangganya diunggah di situs Youtube, untuk menunjukkan arogansi dan kekuatan mereka.
Mula-mula perilaku pasukan ISIS itu dinilai masyarakat dunia sebagai
ambisi politik pimpinannya, Abu Bakr al-Baghdadi yang ingin mendirikan
Daulah Islamiah di wilayah Irak dan Syam. Artinya wilayah yang diincar
ISIS tidak hanya mencakup Suriah saja. Namun, melebar pada wilayah
Israel, Yordania, Lebanon, dan Palestina, dan bahkan bagian tenggara
Turki.
Saat kekejaman dan sikap radikal pasukan ISIS membawa korban ribuan
jiwa, yang mayoritas juga Muslim. Seperti pengusiran massal suku Yazid,
suku asli bangsa Suriah, dari tanah kelahirannya. Demikian pula
melakukan perampasan dan perampokan harta warga sipil, maka mulailah
berdatangan kecaman dari para ulama Muslim di seluruh dunia. ISIS
dituding sebagai kelompok radikal berbendera Islam, tapi perilakunya
bertentangan dengan misi Al-Qur`an yang dicontohkan Rasulullah Muhammad
SAW.
Namun, pasukan Al-Baghdadi tidak peduli, siapa pun yang dianggap
bertentangan dengannya dianggap kafir dan akan diserang. Sehingga ISIS
terkenal dengan reputasi sebagai milisi paling brutal di daerah yang
dikendalikannya.
Fakta perang hari ini membuktikan, segala pamer kedurjanaan yang
dilakukan ISIS sama sekali tidak diilhami ajaran jihad Islam; melainkan
warisan tradisi perang dan kebiadaban negara-negara barat dalam
memperlakukan musuhnya. Seperti dilaporkan Al-Jazeera, Minggu (17/8/2014), kekejaman ISIS itu mencontoh metode eksekusi CIA yang kemudian mereka publikasikan lewat media sosial.
“Kelompok teroris ISIS menggunakan teknik penyiksaan yang diciptakan
oleh dinas intelijen AS, CIA,” demikian dilaporkan media AS terkemuka The Washington Post (WP) beberapa waktu lalu.
Segala kekejaman tentara Amerika di Afghanistan, Irak, di penjara
Guantanamo, termasuk bagaimana Densus 88 di Indonesia memperlakukan
mayat terduga teroris yang di seret-seret di jalan raya, menjadi
inspirasi kebrutalan ISIS. Misalnya, bagaimana tentara Amerika
memperlakukan kaum Muslim Afghanistan, mengencingi mayat korban,
membakar Al-Qur`an, membantai dan memperkosa wanita Muslimah di Irak.
Tindakan brutal Densus 88, yang menyeret mayat korban terduga
terorisme yang ditembak di jalanan, bahkan membunuh terduga teroris yang
ke luar masjid usai shalat Subuh berjamaah, yang ternyata salah tembak.
Video kekejaman yang dilakukan Densus 88 saat melakukan penyerbuan,
penggrebegan bisa disaksikan secara luas di internet. Semua ini terbukti
efektif menyuburkan ideologi kemarahan, menyulut kebencian serta balas
dendam mereka yang bergabung dengan ISIS.
Alasan lain perpisahan Jabhah Nushrah, karena ISIS secara terbuka
menentang pimpinan Al-Qaeda Aiman Zawahiri, yang meminta agar ISIS fokus
di Irak dan tidak masuk ke wilayah Suriah yang merupakan zona tempur
Jabhah Nushrah.
Perselisihan dan pertempuran antara ISIS dan Jabhah Nushrah di Suriah
tidak dapat dihindari, dan memunculkan perselisihan mendalam antar
pimpinan. Pada suatu kesempatan, Esham Barqawi atau Abu Muhammad
Al-Maqdisi, mengkritik pedas ISIS sebagai pihak yang bertanggung jawab
atas gagalnya rekonsiliasi dengan Jabhah Nushrah.
Untuk meredakan konflik antarkelompok pejuang di Suriah, para ulama
yang dianggap netral kemudian menggelar inisiatif untuk membentuk
Mahkamah Syariah. Tetapi inisiatif ini ditolak dan ISIS meremehkan forum
musyawarah, sehingga para pejuang Islam di Suriah menganggap ISIS
sebagai kelompok khawarij. Akibatnya, ISIS mendapat perlawanan dari
kelompok mujahidin Suriah lainnya seperti Jabhah Nushrah, Jabhah
Islamiyah, Ahrar Asy-Syam, dan lain-lain.
Akibat perang Suriah, memang dahsyat. Memasuki tahun kelima perang
Suriah, Badan pengungsi PBB, UNHCR mengatakan Suriah telah menyandang
predikat ‘darurat kemanusiaan terbesar zaman ini’. Sekitar empat juta
orang telah melarikan diri ke luar negeri, dan lebih dari satu juta
mengungsi ke Negara tetangga Libanon.
Di dalam negeri Suriah, lebih dari tujuh juta orang menjadi
pengungsi, dan PBB mengatakan sekitar 60% dari populasi sekarang hidup
dalam kemiskinan. Infra struktur negara telah hancur, mata uangnya
terjun bebas dan kondisi ekonominya kembali ke kondisi 30 tahun silam.
Nasib Pengungsi Suriah yang Diabaikan Dunia
Menyaksikan konflik yang kian tak berujung, para ulama membagi pelaku dan zona konflik di Suriah menjadi 3 bagian. Pertama,
sekte Syi’ah (kubu Presiden Bashar Assad), yang melakukan pembantaian,
penjarahan, pemerkosaan terhadap warga negara Muslim Sunni alias non
syi’ah. Kedua, kelompok khawarij (ISIS), yang mengafirkan siapa
saja yang tidak bergabung dengannya dan melakukan kejahatan keji
terhadap para tawanan. Ketiga, Ahlu Sunah, faksi mujahidin yang
berjuang untuk menumbangkan rezim Syi’ah Bashar Assad. Faksi ini
terdiri dari beberapa front perjuangan antara lain Jabhah Nushrah, Ahrar
As-Syam, dan Jabhah Islamiyah.
Ambisi Baghdady ingin menjadi khalifah pertama sejak runtuhnya
Kekaisaran Ottoman. Dia menyeru kepada kaum Muslim untuk merapatkan
barisan guna menegakkan Daulah Islamiyah. “Mereka yang sanggup
berimigrasi ke Daulah Islam haruslah melakukannya, karena imigrasi ke
Daulah Islam merupakan kewajiban,” katanya dalam rekaman suara yang
tayang di situs Youtube.
Setelah menguasai sejumlah wilayah, awal bulan ini tersiar kabar ISIS
juga bercita-cita membawa impiannya ke Eropa, dan akhirnya ke seluruh
dunia. Abu Bakr Al-Baghdady berjanji akan memimpin pendudukan Roma dan
mengajak umat Muslim migrasi ke “negara”-nya dan berjuang di seluruh
dunia di bawah naungannya. Selain itu, Al-Baghdadi juga menyebut nama
Indonesia. Kata dia, “Selama ini kaum Muslim telah menjadi sasaran
pembunuhan di seluruh dunia, dimulai dari Tiongkok hingga Indonesia”.
Nampaknya, tidak hanya Al-Maqdisi yang mencurigai ISIS sebagai unsur
pemecah belah gerakan mujahidin di Irak dan Suriah, tetapi juga kaum
Muslimin di seluruh dunia. Kecurigaan itu kian menguat, setelah mantan
pegawai badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA)
yang juga mantan agen CIA, Edward Snowden, pembocor rahasia intelijen AS
yang kini bermukim di Rusia mengungkapkan di beberapa media
internasional, bahwa bahwa ISIS bukan murni organisasi militan Islam.
Organisasi ini merupakan bentukan kerja sama dari badan intelijen
Inggris (MI6), Amerika (CIA) dan Israel (Mossad).
Fakta lain yang mengungkap eksistensi ISIS sebagai organisasi teroris
bentukan CIA yang dilatih Mossad dan MI6 terungkap dari pengakuan
mantan Menlu AS Hillary Clinton. Mantan first lady AS itu mengakui, bahwa ISIS merupakan organisasi buatan AS guna memecah belah dan membuat Timur Tengah senantiasa bergolak.
Pernyataan Hillary tersebut selain disiarkan berbagai media massa barat juga dilansir harian Mesir, Elmihwar
edisi Rabu 6 Agustus 2014. Pengakuan mengejutkan itu tercatat dalam
buku yang ditulis Hillary dengan judul “Hard Choice”. Mantan Menlu di
kabinet Obama masa jabatan pertama itu mengaku, pemerintah AS dan
negara-negara barat sengaja membentuk organisasi ISIS demi memecah belah
Timur Tengah (Timteng). Hillary mengatakan gerakan ISIS sepakat
dibentuk dan diumumkan pada 5 Juni 2013.
“Kami telah mengunjungi 112 negara sedunia. Lalu kami bersama
rekan-rekan bersepakat mengakui sebuah Negara Islam (Islamic State/IS)
saat pengumuman tersebut,” tulis Hillary.
Negara Islam tersebut, awalnya direncanakan didirikan di Sinai,
Mesir, sesuai revolusi di beberapa negeri di Timteng seperti Libya dan
Suriah. Namun, lanjutnya, semua berantakan saat meletus kudeta politik
menggulingkan Presiden Muhammad Mursi oleh militer Mesir, yang dipimpin
Jenderal Abdul Fattah As-Sisi.
“Kami memasuki perang Irak, Libya, dan Suriah dan semua berjalan
sangat baik. Namun tiba-tiba meletus revolusi 30 Juni – 7 Agustus di
Mesir, yang membuat segalanya berubah dalam tempo 72 jam,” ungkap istri
mantan presiden AS ke-42, Bill Clinton itu.
Akibat revolusi tersebut, tambahnya, semua rencana pembentukan Negara
Islam berantakan tanpa bisa dihindari. “Kami berpikir untuk menggunakan
kekuatan. Namun Mesir bukanlah Suriah atau Libya. Militer Mesir kuat.
Bangsa Mesir tidak akan pernah meninggalkan militer. Jika kami gunakan
kekuatan melawan Mesir, kami akan rugi. Tapi jika kami tinggalkan kami
pun rugi,” lanjutnya.
Mesir, menurutnya, merupakan jantung Arab. Jika AS dan Barat dapat
menguasai Mesir, maka negara-negara di Timteng lainnya dapat mudah
dikuasai dengan sempurna, meski terjadi perselisihan di antara mereka.
Dengan demikian sumber-sumber minyak dan laut di kawasan tersebut dapat
dikuasai penuh oleh AS.
Lepas dari percaya atau tidak atas pengakuan Hillary Clinton di atas,
yang sudah pasti bahwa ISIS dengan segala aktivitas gerakan dan
sikapnya dari hari ke hari semakin mencurigakan. Dan ini yang membedakan
ISIS dengan kelompok jihad Islam manapun di seluruh dunia. Berikut ini
bukti nyata keanehan gerakan ISIS yang menarik untuk di cermati.
Pertama, menganut paham takfiri. Opini dan paham sesat ISIS
dapat didengar melalui pidato rekaman dan tulisan “Amirul Mukminin Abu
Umar Al-Husainiy Al-Quraisiy Al-Baghdadiy.” Rekaman ini dengan bangga
diterjemahkan oleh seorang terpidana terorisme yang menyebut dirinya Abu
Yusuf Al-Indunisiy, 2 Mei 2014, yang kini mendekam di LP Pasir Putih
Nusakambangan, Cilacap.
Hasil terjemahan itu selanjutnya dipublikasikan melalui situs online Almustaqbal.net dan buletin pendukung Daulah Islamiyah yang terbit di Solo dengan judul gagah: Inilah Aqidah Kami, Daulah Islamiyah.
“Kami meyakini bahwa negeri-negeri bila yang berlaku di dalamnya
adalah syiar-syiar kekafiran dan yang mendominasi di dalamnya adalah
hukum-hukum kekafiran bukan hukum-hukum Islam, maka negeri-negeri ini
disebut negeri kafir. Konsekuensinya, kita mengkafirkan penduduk yang
mendiami negeri-negeri tersebut, kecuali ada uzur yang mu’tabar (dianggap) secara syar’i. Dan karena hukum-hukum yang berlaku di seluruh negeri-negeri Islam hari ini adalah hukum-hukum thaghut
dan syariat kufurnya, maka sesungguhnya kami meyakini kafir dan
murtadnya seluruh pemerintah tipe ini dan bala tentaranya. Dan memerangi
mereka hukumnya lebih wajib dari memerangi pemerintah salibi.”
Inilah di antara doktrin paham sesat takfiri yang dianut Daulah
Baghdadi dan pendukungnya. Dengan ideologi dan pemahaman jahat seperti
ini, mereka sibuk mentakfir dan menjadi alasan membunuh kaum Muslimin.
ISIS bukan hanya membantai manusia dengan berondongan senapan mesin,
roket, dan bom, tapi juga sampai hati menyembelih manusia dan memisahkan
kepala dari tubuhnya hanya dengan menggunakan pisau tumpul. ISIS juga
akan tetap membunuh para korbannya meski mereka dalam kondisi lemah dan
telah meratap minta ampun. Tak ada satu pun kelompok Islam sejak jaman
Nabi Muhammad SAW yang melakukan kejahatan kemanusiaan begitu rupa
sebagaimana ISIS melakukannya saat ini.
Dari track record aktivitasnya, ISIS seolah sengaja
diciptakan hanya untuk membunuhi kaum Muslim. Sedikitnya 15 ribu Muslim
tewas dibantai ISIS tanpa ampun. ISIS dengan bangga memamerkan tangannya
yang penuh lumuran darah para pengikut agama tauhid. Lihat misalnya,
serangan Israel atas Gaza 8 Juli 2014 lalu, hingga 1700 nyawa warga
Palestina melayang, ISIS terbukti memilih bersembunyi daripada harus
berperang melawan Israel.
Kelompok yang pertama kali mengumbar vonis kafir terhadap kaum
Muslimin adalah kelompok sesat khawarij dari kalangan Syi’ah. Menurut
Ibnu Taimiyyah rahimahullah khawarij mempunyai dua ciri khas yang populer, dan yang membedakannya dengan jamaah kaum Muslimin. Pertama,
mereka keluar dari Sunnah, sehingga menganggap sesuatu yang bukan
kejelekan sebagai kejelekan, atau yang bukan kebaikan sebagai kebaikan.
Kedua, khawarij dan para pelaku bid’ah mengafirkan seseorang
dengan sebab dosa dan kesalahan. Akibat dari pengafiran mereka dengan
sebab dosa tersebut, mereka menghalalkan darah dan harta kaum Muslimin.
Mereka anggap negeri Islam (Darul Islam) sebagai negeri yang mesti
diperangi (Darul Harb), dan hanya negeri yang mereka tinggali saja
sebagai negeri iman (Darul Iman).” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/71-73)
Kedua, sekutu koalisi internasional. Amerika Serikat dan
koalisi internasional kabarnya terus melancarkan serangan-serangan udara
untuk memerangi kelompok ISIS di Irak, juga di Suriah. Tapi aneh,
sampai sekarang ISIS belum bisa dikalahkan, padahal sejumlah 42 negara
diklaim telah bergabung dalam koalisi internasional pimpinan Amerika
untuk menghabisi ISIS.
Ketika memerangi Presiden Irak Saddam Husein, tidak sampai satu bulan
Amerika mampu melumpuhkan perlawanan tentara Irak. Begitu pula Libya,
Amerika dapat dengan mudah menaklukkan tentara Muammar Khadafi. Lalu,
mengapa ISIS sulit dikalahkan? Ternyata semua itu hanyalah rekayasa
Amerika.
Komisi keamanan dan pertahanan dewan legislatif Irak, Selasa
(10/2/2015), menuduh koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat
telah menyuplai senjata kepada pasukan ISIS.
Ketua komisi, Hakem Al-Zamily, mengatakan, “Kami memiliki dokumen,
gambar, dan informasi yang menguatkan tuduhan kami bahwa beberapa
pesawat koalisi telah melanggar batas kekuasaan Irak untuk memberikan
bantuan kepada ISIS. Bahkan beberapa pesawat ini mendarat di beberapa
bandara udara yang telah dikuasai ISIS.”
Al-Zamily melanjutkan, “Menjatuhkan senjata ke ISIS adalah sebuah
tindakan yang sangat membahayakan keamanan Irak. Hal itu juga yang
membuat perang melawan ISIS akan semakin panjang.” Oleh karena itu,
Al-Zamily juga meminta pemerintah Irak untuk segera menyatakan sikap
resminya atas temuan ini.
Sebuah sumber informasi di kota Ar-Rutba, provinsi Al-Anbar, Irak,
Ahad (8/2/2015) kemarin, menyaksikan sebuah pesawat tak dikenal yang
menjatuhkan senjata dan amunisi kepada pasukan ISIS.
Seperti yang ditayangkan stasiun televisi Al-Sumaria, secara
eksklusif, saksi mata mengatakan, “Ada sebuah pesawat tak dikenal yang
menjatuhkan kotak-kotak berisi senjata dan amunisi. Kotak-kotak itu
dijatuhkan di padang pasir Al-Anbar, dekat dengan kota Ar-Rutba.”
Dengan segala keanehan ini, membuat dunia Islam kian yakin bahwa ISIS
bukanlah gerakan Islam yang membawa misi jihad Islam. ISIS hanyalah
gerakan sempalan Al-Qaeda, hasil rekayasa Amerika untuk memecah
konsentrasi dan soliditas umat Islam di Timur Tengah. Bagaikan bakteri
yang berkecambah di atas tumpukan sampah produksi Amerika, untuk
kemudian pada saatnya dibuang sia-sia.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar