Oleh Ade Armando*
Satu hari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, di Jakarta berlangsung Parade Tauhid. Puluhan ribu orang dengan dress code
putih putih melimpah ruah di daerah Senayan dan jalan utama Sudirman.
Pada awalnya, mereka berkumpul di Senayan untuk mendengarkan serangkaian
orasi dari sejumlah tokoh Islam. Setelah itu mereka berpawai menyusuri
Sudirman menuju Bundaran HI tepat di saat Car Free Day. Mereka bertakbir
dan meneriakkan berbagai yel. Karnaval berakhir di Senayan kembali
dengan shalat bersama.
Masalahnya, parade yang seruannya sudah dikumandangkan jauh-jauh hari
ini dapat dibilang tak mencerminkan atau bahkan jauh dari semangat
‘Tauhid’ yang bermakna luhur. Dalam Islam, isilah tauhid merujuk pada
keesaan, kebesaran dan keagungan Allah. Karena itu Parade Tauhid
selayaknya adalah acara yang akan membangun ingatan masyarakat pada
keagungan Allah. Nyatanya, yang berlangsung hanyalah semacam ‘show of force’ dari kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menyadari diri mereka sedang perlahan-lahan tersingkir.
Parade Tauhid jadinya nampak sebagai upaya konsolidasi dan
pembangkitan kekuatan kalangan yang di masa lalu begitu menakutkan dan
kini menyadari Indonesia baru yang sedang terbentuk tidak lagi memberi
ruang cukup bagi mereka.
Parade Tauhid mustinya bisa penting. Tapi apa yang terjadi pada 16 Agustus itu terlihat sebagai kesia-siaan.
Seruan untuk mengikuti Parade Tauhid sudah terdengar lama. Sebuah website
khusus dibuat untuk mempromosikannya. Poster-posternya sudah disebar
melalui media sosial. Sebelum Jakarta, serangakaian Parade Tauhid mini
sudah diselenggarakan di berbagai kota: Solo, Yogyakarta dan Magelang.
Kalau dibaca organisasi kepengurusannya juga terlihat nama-nama
besar. Yang tercantum di sana bukan cuma tokoh-tokoh radikal seperti
Riziq Shihab, tapi juga Din Syamsudin, Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan, mantan Menteri Pemuda Adhyaksa Dault, anggota DPD RI Fahira
Idris, Yusuf Mansyur, serta AA Gym. Sekadar catatan, nama Hutomo
Mandala Putra (Tommy Soeharto) pun tercantum di situ.
Dalam berbagai pernyataan persnya, panitia juga menggambarkan acara
tersebut sebagai sebuah peristiwa akbar umat Islam Indonesia yang akan
menampilkan Islam dalam sisi damai. Panitia menjelaskan tema besar
Parade adalah: “Bertauhid dalam Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”.
Dalam siaran persnya, Haikal Hassan, Ketua II Panitia Parade Tauhid Indonesia menyatakan: “Kami sengaja menekankan Islam rahmatan lil ‘alamin
sebagai proklamasi kembali bahwa Islam diturunkan sebagai agama damai
dan keselamatan. Untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. “
Ia juga menyatakan bahwa acara ini dilakukan sebagai langkah awal
konsolidasi umat Islam dalam upaya membangun masyarakat bermartabat, dan
terbangunnya ukhuwah Islamiyah seluruh elemen ummat Islam, sehingga
menjadi potensi dan energi positif bagi upaya mewujudkan Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin.
Dengan persiapan dan semangat semacam itu, bisa dipahami bila ada optimisme sangat tinggi terhadap kesuksesan acara. Media online Republika menulis bahwa akan ada 300 ribu warga mengikuti Parade Tauhid. Sebagian pihak berharap angka peserta mencapai satu juta.
Apa yang terjadi pada 16 Agustus 2015, jauh dari gambaran optimistis itu.
Tentu saja tidak ada angka pasti tentang besar massa. Namun
perhitungan opitmistis pun tidak menyebut angka seratus ribu. Harus
diakui, gambaran puluhan ribu umat Islam berjalan bersama, bertakbir,
berpakaian putih-putih memang impresif. Namun, dilihat dari besaran,
tidak seperti yang diharapkan.
Dan tokoh yang tampil ternyata hanya dari kalangan yang selama ini
dikenal sebagai kelompok garis keras, anti demokrasi, anti keberagaman,
tidak toleran dan bahkan anti NKRI. Tidak ada AA Gym, tidak ada Din
Syamsudin, tidak ada Ahmad Heryawan, tidak ada Adhyaksa Dault, tidak ada
Fahira Idris.
Tommy Soeharto juga tidak datang. Namun melalui twitternya ia
mengirim permintaan maaf batal menghadiri acara karena kebetulan berada
di luar Jakarta. Ia menutupnya dengan: “Salam kekeluargaan dan salam
kebangkitan umat menuju Indonesia baru.”
Yang hadir sebagai pembawa orasi dan memimpin parade adalah mereka
yang senang bersuara keras dan memaki-maki, sekaligus berseberangan
dengan pemerintahan Jokowi ataupun Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama.
Sejumlah nama penting adalah: Cholil Ridwan (salah seorang Ketua Majelis
Ulama Indonesia yang terkenal sangat anti keberagaman), Abu Jibril
(Amir Majelis Mujahiddin Indonesia yang dikenal anti Pancasila), Arifin
Ilham, Muhammad Al Khathath (Sekjen Forum Umat Islam yang pernah
diberitakan mendirikan Dewan Revolusi Islam),
Abdurrasyid Abdullah Syafii (anggota Presidium Penyelamat Jakarta
yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama), Shobri Lubis (Sekjen
FPI yang menyerukan anggotanya untuk membunuhi pemeluk Ahmadiyah),
Alfian Tanjung (Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia yang diketahui
menyebarkan SMS SARA dalam pemilihan Gubernur DKI), Bachtiar Nasir
(Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia yang menyatakan
Jokowi akan membawa Indonesia menjadi kafir), dan Misbahul Alam (tokoh
Hizbut Tahrir, organisasi yang menolak demokrasi dan ingin mendirikan
kekhalifahan Islam).
Yang nampak mengancam bukan saja orang-orangnya, melainkan substansi
pesan yang disampaikan. Di awal parade, berlangsung acara orasi yang
ternyata isinya penuh caci maki. Sebagaimana terekam secara audio visual
yang kemudian ditampilkan di Youtube, para pemuka Islam itu secara terbuka menyerang banyak pihak.
Seorang orator menyerang kaum Kristen dalam kaitannya dengan kasus
Tolikara yang saat ini sebenarnya sudah bisa dicegah tidak meledak
menjadi konfik berkepanjangan. “Kalau peristiwa Tolikara tidak
diselesaikan, kita siap berjihad ke Papua!” teriaknya dengan suara
parau. “Berani bunuh pendeta? Berani bunuh Kristen radikal? Kita
berangkat jihad!”
Orator yang lain bicara soal berita bahwa Jokowi akan meminta maaf
kepada PKI, walau sebenarnya sudah berulang-ulang dikatakan berita itu
bohong (hoax). “Kalau sampai Jokowi minta maaf kepada PKI, maka
kita sebut Jokowi itu Jokodok!!” ujarnya setengah berteriak. “Siap
turunkan Jokodok. Siapkan senjata, kalau besok ada panggilan jihad untuk
menghadapi PKI di mana saja. Kalau Jokowi minta maaf pada PKI, siap
serbu istana! Siap ambilalih kekuasaan!”
Seruan penuh kebencian itu terdengar di sepanjang orasi. Ajakan untuk
merapatkan barisan disuarakan untuk menegakkan syariat di Indonesia.
Jadi alih-alih membawa semangat Islam membawa perdamaian, Parade
Tauhid tersebut menjelma menjadi ajang penyebaran kebencian dan ajang
caci maki.
Apakah radikalisasi itu terjadi di luar skenario? Tidak jelas benar.
Namun tidak hadirnya banyak tokoh Islam yang selama ini dikenal
berpandangan moderat dan menghormati keberagaman mungkin bisa memberi
indikasi tentang sudah terciumnya kesan bahwa acara ini akan didominasi
kalangan yang berpandangan picik.
Dengan demikian, mudah disimpulkan bahwa Parade ini pada akhirnya
cuma menjadi kesia-siaan. Alih-alih menjadi sarana untuk mengagungkan
kebesaran Allah, parade ini menjelma menjadi sarana pelampiasan
kebencian kaum sakit hati yang rupanya makin tersingkir di era
pemerintahan Jokowi yang memang cenderung mendukung sebuah Islam yang
damai, terbuka, menghargai keberagaman dan berpijak di atas kebudayaan
Nusantara.
Front Pembela Islam dan kawan-kawan mungkin menyangka mata uang
‘Islam kekerasan’ masih berlaku. Mereka menyangka kalau mereka terus
bergaya preman dengan berteriak-teriak memaki-maki sembari menyebut nama
Allah, mereka akan ditakuti sekaligus diridhoi.
Tapi tentu saja mereka salah. Sepenuhnya salah.
*Ade Armando adalah Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar