Berita Dunia Islam – KETIKA dunia islam
dalam pimpinan Osama bin Laden tewas, Mei 2011, sebagian menganggap hal
itu sebagai akhir kekerasan kelompok militan jihad. Namun, kurang dari
empat tahun kemudian, justru muncul organisasi yang disebut-sebut lebih
berbahaya daripada Al Qaeda-nya Osama: Negara Islam di Irak dan Suriah.
Baqiya wa tatamadad (kekal dan terus berekspansi). Dua kata bahasa
Arab itu selama bertahun- tahun kerap diproklamasikan para milisi Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pernyataan sederhana itu
merepresentasikan cara kerja paling mendasar NIIS sebagai organisasi
(Charles Lister, Profiling the Islamic State, 2014).
Awalnya hanya sebuah kamp pelatihan di Provinsi Kandahar, Afganistan,
dengan modal pinjaman 200.000 dollar AS (Rp 2,4 miliar) dari Al Qaeda.
Jund al- Sham (Pasukan Syam), demikian Abu Musab al-Zarqawi menamai
kelompok rintisannya pada 1999 dan cikal bakal NIIS.
Meskipun perubahan nama berkali-kali dilakukan kelompok itu dan
markas mereka terus berpindah-pindah hingga bertransformasi menjadi NIIS
pada 9 April 2013, satu hal yang tak berubah: elemen sektarian selalu
menjadi bagian strategi mereka.
Di Irak, mereka memanfaatkan dan menyuburkan terus konflik
Sunni-Syiah, buah kebijakan marjinalisasi Sunni oleh Perdana Menteri
Irak Nouri al-Maliki yang beraliran Syiah. Di Suriah, mereka mengail
teror di tengah keruhnya konflik di negeri islam itu.
Al-Zarqawi yakin bahwa kekacauan sektarian bakal menyuburkan
organisasinya. Maka, mereka melancarkan segala bentuk teror, seperti
pelaksanaan aksi bom bunuh diri dengan target korban massal, penculikan,
penyiksaan, perbudakan perempuan, pembantaian, dan pemenggalan kepala
sandera.
Brutalitas, kekejaman, dengan sasaran korban berskala massal,
seolah-olah napas kelompok itu. Di mata para ideolog gerakan jihad pun,
termasuk Al Qaeda yang memberi mereka lisensi dengan nama Al Qaeda di
Irak (AQI), kelompok Al-Zarqawi terlalu ekstrem.
Abu Qatada, ideolog gerakan jihad asal Jordania dan eks tokoh Al
Qaeda di Eropa, menyebut NIIS seperti khawarij. (Economist, 1/11/2014).
Khawarij adalah gerakan keagamaan ekstrem pada abad ketujuh saat dunia Islam
dilanda kekacauan perang saudara pertama, Perang Siffin. Situasinya
mirip dengan situasi sosial-politik yang melatari pemunculan NIIS.
Pada 2006, Al-Zarqawi tewas oleh bom pasukan AS. Di bawah penerusnya,
Abu Ayyub al-Masri, AQI merger dengan lima kelompok lain, membentuk
Majlis Shura al-Mujahideen, yang melahirkan Negara Islam di Irak (ISI).
Sejak 18 April 2010, ISI dipimpin Abu Bakr al-Baghdadi. Ketika perang
Suriah meletus, Maret 2011, Baghdadi melihat celah mengembangkan
organisasinya di tengah kekacauan negeri itu. Ia mengirim milisinya ke
Suriah, ikut memerangi rezim Presiden Bashar al-Assad.
April 2013, Baghdadi mengklaim kelompok oposisi lain di Suriah, Front
Al-Nusra, sebagai cabangnya dan mengubah nama kelompoknya menjadi NIIS
atau ISIS. Pemimpin Al Qaeda penerus Osama, Ayman al-Zawahiri, marah. Ia
ingin kelompok Baghdadi lebih fokus di Irak.
Pada Februari 2014, Al-Zawahiri menyatakan, NIIS bukan cabang Al
Qaeda. Hal itu menjadi momentum bagi NIIS melebarkan sayap. Sambil terus
berkonsolidasi di Raqqa, Suriah, NIIS kian menancapkan kekuasaan di
Irak utara dan barat.
Puncaknya terjadi pada 10 Juni lalu saat NIIS merebut Mosul, kota
terbesar kedua di Irak, dalam serangan kilat kurang dari 14 jam. Pada
akhir bulan itu, bertepatan 1 Ramadhan, Baghdadi mengumumkan berdirinya
kekhalifahan Islam. Ia mengangkat dirinya sebagai khalifah.
Hal itu jelas merupakan upaya NIIS menarik perhatian Muslim di
seluruh dunia. Baghdadi tahu, sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh
pada 1923, konsep kekhalifahan tak pernah hilang dari benak umat Muslim.
Bukan teroris biasa
Melalui deklarasi kekhalifahan yang diumumkan lewat rekaman suara
dalam lima bahasa, NIIS menancapkan elemen transnasionalisme milisi
jihad. Dari sebuah kamp pelatihan dengan modal 200.000 dollar AS, 15
tahun lalu, NIIS kini menjelma mirip sebuah negara dengan kekuatan
pasukan—seperti diperkirakan Badan Intelijen Pusat AS (CIA)—hingga
31.500 personel.
Aset dan kekayaan mereka per September lalu ditaksir mendekati 2
miliar dollar AS (Rp 25 triliun). Dari penjualan minyak dari ladang
minyak yang mereka kuasai ke pasar gelap, NIIS meraup pemasukan 2 juta
dollar AS (Rp 24 miliar) per hari. Ditambah perampasan dan pemerasan,
produksi ladang minyak memberi mereka pemasukan lebih dari 3 juta dollar
AS (Rp 36 miliar) per hari. NIIS pun disebut-sebut sebagai organisasi
teroris paling kaya di dunia.
Bagaimanapun, NIIS tidak sekadar organisasi teroris. Di bawah kendali
Baghdadi, kelompok itu membangun struktur yang mirip pemerintahan
modern. Struktur organisasi mereka sangat rapi. Baghdadi menunjuk dua
deputi untuk Irak dan Suriah serta delapan anggota kabinet dan dewan
militer beranggotakan 13 orang. Mereka mengontrol listrik, air, lalu
lintas transportasi darat, membayar gaji, serta mengelola apa saja,
mulai dari pabrik roti, bank, sekolah, hingga pengadilan.
”Mereka lebih bahaya daripada Al Qaeda dalam dunia islam saat ini. Mereka bukan sekadar organisasi teroris,” kata Brett McGurk, Deputi Asisten Menlu AS untuk Irak dan Iran, Juli.
Satu lagi pembeda NIIS dari organisasi-organisasi teroris lain, yaitu
ekspos dan partisipasi aktif di media sosial serta ranah daring sebagai
strategi komunikasi. NIIS mengetahui, media sosial adalah saluran
paling efektif dan cepat untuk menggaet anak muda.
Presiden AS Barack Obama mengibaratkan NIIS dengan ”kanker” yang
harus dikikis dari Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Dipicu
kekhawatiran genosida NIIS kepada warga minoritas Yazidi, sejak Agustus,
Obama memerintahkan serangan udara pada target NIIS di Irak lewat
koordinasi pasukan koalisi dari hampir 60 negara. Pertengahan September,
serangan udara AS diperluas ke Suriah.
Sejumlah kalangan melihat, pasukan koalisi memiliki banyak kelemahan.
Mereka antara lain terbatas hanya melakukan serangan udara. Padahal,
mengalahkan organisasi sesolid NIIS tak cukup hanya mengandalkan
serangan udara. Langkah militer AS juga tidak didukung Turki dan Iran,
yang hanya mengusung agenda masing-masing. Rapuhnya konsolidasi di
pasukan koalisi terlihat pada Desember ini: 97 persen serangan udara
hanya dilakukan AS. (Reuters, 17/12/2014).
Bagaimana jejak radikalisme baru ala NIIS di Indonesia? Hal itu
terlihat saat muncul video Youtube yang menayangkan pria mengaku bernama
Abu Muhammad al-Indunisi. Belakangan diketahui ia bernama asli Bahrum
Syah, mahasiswa drop out Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Di video itu, ia menyerukan ajakan bergabung NIIS.
Menurut Duta Besar Irak untuk Indonesia Abdullah Hasan Salih,
sedikitnya 53 warga Indonesia bergabung dengan NIIS di Irak. Tiga di
antaranya tewas. Alarm bagi Pemerintah Indonesia: jangan remehkan
pengaruh NIIS. (26/12)
Sumber : Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar