PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Masalah Perpecahan di dalam tubuh umat Islam adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan, tetapi yang perlu diingat adalah, orang sering kali tidak tahu
sebab-sebab terjadinya perpecahan. Di kalangan umat Islam sekarang ini terkadang
terjadi perpecahan dalam hal-hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Kita
sering berpendapat, bahwa menghidari perpecahan dan membendung bahayanya
sebelum hal itu terjadi jauh lebih baik daripada pengobatan setelah terjadi.
Memang pendapat ini merupakan ijma’ yang disepakati. Namun sebaiknya kita
mengerti bahwa menjaga dari perpecahan caranya adalah dengan jalan menghindari
penyebabnya. Ada beberapa masalah lain yang bisa menjadi faktor terhindarnya
perpecahan, yaitu dalam bentuk umum maupun khusus. Sebab-sebab umunya adalah:
Berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.[1] Dengan memahami
petunjuk Nabi saw dan berpegang teguh kepadanya, insya Allah akan mendapat
petunjuk dan mengetahui agamanya. Oleh karena itu akan terjauhkan dari perpecahan
dan pertentangan yang menuju pada perpecahan atau terjerumus ke dalamnya tanpa
disadari. Sementara sebab khusus yang dapat menjaga dari perpecahan adalah
megikuti jalan Salafush Shalih, yaitu sahabat, tabi’in, dan imam agama dari
kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah[2]. Perpecahan politik dan aliran pemikiran
antara kaum muslimin terjadi karena perbedaan tentang masalah khilafah, hal ini
dimulai setelah wafatnya Ali Bin Abi Thalib yang telah mengakibatkan barisan
kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok: 1. Syiah, yaitu orang yang sangat
fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap khilafah hanya untuk Ali
dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan
dari Nabi saw dan bukan dengan cara baiat. 2. Khawarij, yaitu orang yang kecewa
dengan adanya proses tahkim (perdamaian)pada zaman khalifah Muawiyah lalu
mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas mereka berpendapat wajib
melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tidak
harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab. 3. Jumhur kaum muslimin (Ahlu
Sunnah wal jama’ah), yaitu kaum moderat yang memiliki sifat adil dan tidak
radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun
mereka dipilih oleh kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini
telah memberikan pengaruh yan besar terhadap perjalanan aliran fiqh yang
berkembang pada zaman berikutnya.[3] Pembincangan mengenai perpecahan umat itu
juga bermula dari hadis Nabi Muhammad saw tentang terjadinya perpecahan di
tengah umat ini, di antaranya adalah hadis iftiraq:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ،
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى
إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى
إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى
ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
Artiya: Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah
saw telah bersabda: Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71)
golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah
menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku
akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. Hadis megenai perpecahan
umat tersebut merupakan hadis yang populer dan masyhur karena banyak yang
meriwayatkan, namun yang menarik dari hadis di atas adalah karena hadis
tersebut tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab
shohihainnya. Di dalam hadis tersebut juga terdapat masalah, yaitu masalah
penilaian perpecahan umat menjadi lebih banyak dari perpecahan Yahudi dan
Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah ini seluruhnya binasa dan masuk
neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan membuka pintu bagi klaim-klaim setiap
firqh bahwa dialah firqah yang benar, sementara yang lain binasa. Hal ini
tentunya akan memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama
lain, sehinnga akan melemahkan umat secara keseluruhan dan memperkuat musuhnya.
Oleh karena itu, Ibnu Waziir mencurigai hadits ini secara umum terutama pada
tambahannya itu. Karena, hal itu akan membuat kepada penyesatan umat satu sama
lain, bahkan membuat mereka saling mengkafirkan.[4] Berdasarkan hal tersebut,
maka penelitian untuk memahami secara mendalam terhadap hadis tersebut sangat
diperlukan untuk menghindari kesalah pahaman di antara umat Islam. Salah satu
sebab perbedaan pendapat yang akhirnya berujung kepada perpecahan itu adalah
karena tidak mampu memahami permasalahan secara menyeluruh, yang satu
memahaminya melalui satu sisi dan yang lain melalui sisi yang lain pula,
demikian juga orang yang ketiga memahaminya dari sisi selain yang dipahami oleh
orang pertama dan kedua.[5] Ahli hikmah mengatakan: “Sesungguhnya kebenaran
tidak akan dicapai oleh manusia dalam semua aspeknya dan mereka juga tidak akan
salam dalam segala bentuknya, tetapi sebagian mereka mencapai sebagian
kebenaran dan yang lain mencapai aspek kebenaran yang lain.”Mereka
mengumpamakan hal itu dengan sekelompok orang buta yang memegang seekor gajah
besar. Setiap orang akan mensifatinya (gajah) seperti bagian yang dipegang dan
terlintas dalam fikiran masing-masing. Bagi orang yang memegang kaki gajah ia
akan mengatakan bahwa gajah adalah hewan yang bentuknya seperti pohon kurma
yang tinggi dan bulat. Dan orang yang memegang punggung gajah mengatakan bahwa
gajah itu bentuknya seperti bukit yang tinggi atau tanah yang menggunung.
Begitulah masing-masing memberikan ciri-ciri gajah dengan apa yang mereka
sentuh. Dalam satu segi ia benar, tapi jika ia mengklaim yang lain berbohong
dan tidak benar, maka ia telah melakukan kesalahan.[6] Sesungguhnya berbeda
dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan, namun sebaliknya
sangat diperlukan. Tentunya, berbeda dengan pengertian ini bukan asal berbeda
atau (waton sulaya). Perbedaan harus dipandang sebagai suatu realitas sosial
yang fundamental, yang harus dihargai dan dijamin pertumbuhannya oleh
masyarakat itu sendiri.[7] Kaitannya dengan penjelasan ini, al-Qur’an surah
al-Hujurat ayat 13 menegaskan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْد اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya:
Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, dan kami jadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah
ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Ayat al-Qur’an ini sesungguhnya
mengajarkan kepada manusia untuk saling mengerti dan memahami. Itu artinya,
karena Allah swt sengaja menciptakan perbedaan di antara umat manusia, maka
manusia diperintahkan untuk saling menjaga situasi fisik dan batin sesamanya
agar tak terlukai dan melukai satu sama lain oleh sebab perbedaan yang ada. Pada
akhirnya, tinggi rendahnya manusia dihadapan Tuhan tidak ditentukan oleh fakta
perbedaan yang melekat pada dirinya, tetapi oleh kadar ketaqwaannya. Itulah
sesungguhnya prestasi gemilang manusia di hadapan sesama dan Tuhannya. Kata
iman dan taqwa merupakan suatu prestasi tersendiri bagi manusia. Seakan Tuhan
berkata, “Hai manusia, kalian semua sama di hadapanku, kecuali prestasimu”.
Prestasi di sini adalah prestasi sosial dan prestasi spiritual di
hadapannya.[8] Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam adalah
al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan
umat Islam. Walaupun terdapat perbedaan pendapat dari segi penafsiran dan
aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan.
Ajaran Islam mengambil dan menjadikan pedoman utamanya dari keduanya. Oleh
karena itu, kajian- kajian terhadapnya tak akan pernah keruh bahkan terus
berjalan dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat islam. Melalui
terobosan-terobosan baru, kajian ini akan terus mewarnai khasanah perkembangan
studi keislaman dalam pentas sejarah umat Islam.[9] Dalam sejarah dan bahkan
saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai
orang Islam, tetapi mereka menolak hadis atau sunnah Nabi saw. Mereka dikenal
sebagai orang-orang yang berfaham inkarus-sunnah. Cukup banyak alasan mereka
menolak hadis Nabi saw sebagai sumber ajaran Islam. Dengan meyakini bahwa hadis
Nabi merupakan bagian dari sumber ajaran Islam, maka penelitian hadis khususnya
hadis ahad sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk menghindarkan diri
dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Sekiranya hadis Nabi hanya
berstatus sebagai data sejarah belaka, niscaya penelitian hadis tidaklah begitu
penting. Hal ini tampak jelas pada sikap ulama ahli kritik hadis dalam berbagai
kitab sejarah yang termuat dalam kitab-kitab sejarah (siratun-Nabi). Kritik
yang diajukan ulama hadis terhadap apa yang termuat dalam berbagai kitab-kitab
sejarah tidaklah seketat kritik yang mereka ajukan kepada berbagai hadis yang
termuat dala kitab-kitab hadis, khususnya yang berkaitan erat dengan
pokok-pokok ajaran Islam.[10] Agak sulit kita bayangkan, jika tanpa “campur
tangan: Hadis, al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum
dapat dipahami dan diaktualisasikan dalam amaliah praktis kaum muslimin. Karena
itulah Hadis mejadi sumber utama bagi kaum Muslimin setelah al-Qur’an, sebagai
juklak hukum dan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Oleh Karena itu
pula kiranya perhatian yang diberikan umat Islam begitu besar terhadap hadis
sejalan dengan perhatian mereka terhadap al-Qur’an.[11] Perbedaan dan
perpecahan tentu tidak bisa kita hindari karena berbagai sebab, akan tetapi
jangan sampai perbedaan tersebut memicu untuk saling merendahkan satu sama lain
dan hanya menganggap kelompoknya yang paling benar dan menyalahkan kelompok
lain atau bahkan mengkafirkannya. Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian
kita mengenai hal ini untuk mengetahui bagaimana solusinya dan salah satu
solusinya adalah dengan meneliti hadits tentang perpecahan ummat Islam menjadi
73 golongan mulai dari sanad, matan, dan pendapat ulama mengenai hadis
tersebut. Dari penelitian hadis tersebut, maka kita akan mengetahui kehujjahan
hadis terpecahnya umat Rasulullah menjadi 73 golongan dan tidak memahaminya
secara parsial atau setengah-setengah. B. Rumusan Masalah Dari pemaparan
rumusan masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang dibahas
dalam penelitian ini. 1. Bagaimana kualitas hadis Riwayat Abu Hurairah tentang
terpecahnya umat Rasulullahmenjadi 73 golongan? C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian Tujuan: 1. Untuk mengetahui validitas, kualitas, dan kehujjahan
hadits tentang terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan. Keguanaan: 1.
Sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan khususnya dalam bidang pemahaman
terhadap hadits Nabi saw. 2. Dalam bidang akademik, penelitian ini digunakan
sebagai syarat kelulusan PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) D.
Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai hadis terpecahnya umat Islam menjadi 73
golongan bukanlah hal yang baru, sepanjang pengetahuan penulis sudah ada yang
pernah membahasnya, baik secara umum, menerima, maupun yang menolak kehujjahan
hadis tersebut. Namun, sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang membahasnya
dalam bentuk skripsi ataupun disertasi. Pembahasan mengenai hadis sangat
sedikit ditulis dalam bentuk buku, meskipun ada kebanyakan mereka hanya menulis
beberapa lembar saja dalam bukunya. Masalah iftirūq sudah pernah dibahas oleh
Dr. Naser Abdul Karim al-Aql dengan judul perpecahan umat Islam.Di dalam buku
ini hanya membahas iftiraq secara umum tanpa adanya penjelasan yang mendalam
mengenai hadis tersebut kecuali hanya sedikit saja dengan memberikan pernyataan
mengenai kualitasnya[12] Masalah ini pernah dibahas oleh di dalam kitab
Fatwa-fatwa kontemporer karya Dr. Yusuf al-Qaradawi. Di dalam salah satu
permasalahan yang dijawab di dalamnya yakni mengenai hadis iftiraq tersebut. Pembahasannya
ini juga dengan yang terdapat dalam kitabnya yang lain yang berjudul “Gerakan
Islam Antara Perbedaan Yang Diperbolehkan Dan Perpecahan Yang Dilarang”.[13]
Dari keterangan beberapa buku di atas, dapat diketahui bahwa pembahasan hadis
tentang terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan secara mendalam belum ada.
Oleh karena itu, penelitian dalam risalah ini akan lebih menekankan pada segi
kehujjahan hadis mulai dari sanad, matan, maupun perbandingan pendapat ulama
mengenai hadis tersebut. Dengan tanpa mengurangi arti pentingnya--buku buku di
atas—belumlah cukup memadai dalam penelitian penulis, walaupun penulis sendiri
mengakui bahwa masing-masing dari buku-buku tersebut saling melengkapi dalam
memberikan masukan-masukan dalam penelitian ini. E. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat library research atau
penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan semua sumber-sumber data dari
bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku, dan lain-lainnya yang relevan
dengan dengan topik penelitian dan menggunakan sumber-sumber tersebut sebagai
bahan penelitian. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan kajian
kepustakaan murni yakni pengumpulan data baik primer maupu sekunder. Adapun
data primer yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah beberapa kitab
hadis dan ilmu-ilmu yang terkait dengan hadis antara lain: Sunan Ibnu Majah,
Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sahih Ibnu Hibban, Mustadrak al-Hakim,
Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, kitab-kitab syarah dan
lain-lainnya. Sebagai langkah awalnya adalah dengan menggunakan aplikasi
pencarian al-Maktabah a-Syamilah yang di dalamnya terkumpul banyak kitab-kitab
yang terkait dengan penelitian. 2. Analisi Data. Data-data yang diperoleh dari
penelitian kepustakann adalah data yang masih mentah, maka perlu diadakan
analisa lebih mendalam terhadap data-data tersebut, yaitu menganalisa kandungan
matan dan susunan lafad matan hadis yang semakna. Untuk membantu analisa
tersebut diperlukan suatu langkah yang dapat yang dapat mempermudah proses
penelitian ini, yaitu mengumpulkan beberapa hadis yang berkaitan dengan tema
yang diteliti secara tematik sehingga dapat ditelusuri lebih lanjut pemaknaan terhadap
hadis yang dimaksud. Dalam mengelola data, penulis mengacu pada matodologi yang
ditawarkan oleh Muhammad Syuhudi Ismail[14] yang mencakup penelitian kualitas
sanad dan kualitas matan hadis. Adapun tahapan penelitian adalah sebagai
berikut: a. Takhrij al-Hadis yang meliputi. b. Penelitian Sanad c. Penelitian
matan: di antaranya meliputi: Kajian Leksikal, yaitu menelaah beberapa
terminologi yang terdapat di dalam teks hadis tersebut dengan merujuk kepada
beberapa literatur seperti kamus dan buku yang terkait. Kajian Konfirmatif,
yaitu analisa terhadap wilayah makna yang terkandung dalam teks dengan
konsentrasi: Apakah hadis tersebut: 1) Tidak bertentangan dengan akal sehat; 2)
Tidak bertentangan dengan al-Qur’an; 3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir;
4) Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; 5) Tidak bertentangan
dengan hadis ahad yang kualits ke sahihannya lebih kuat. F. Sistematika
Pembahasan Guna mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka sistematika
pembahasan akan disusun sebagai berikut: Bab I, bab ini meliputi latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika pembahasan. Uraian dalam bab ini akan
memberikan kemudahan dan sebagai gambaran ringkasan mempelajari risalah ini.
Bab II, di sini penulis memaparkan mengenai tinjauan umum perpecahan umat yang
terdiri dari dua sub bab yaitu pertama: pengertian iftirāq (perpecahan) serta
perbedaannya dengan ikhtilāf dan kedua: Sejarah Iftirāq. Bab III, dalam bab ini
penulis memebagi kepada tiga sub bab yaitu pertama: takhīrj hadis dan i’tibar
beserta memaparkan tek-teks hadis tentang perpecahan umat, kedua: analisis
kualitas sanad beserta pendapat ulama mengenai hadis tersebut. Bab IV, di sini
penulis melakukan analisis terhadap kualitas matan hadis. Bab V, ini merupakan
bab bagian terakhir penelitian ini yang berisi kesimpulan, saran-saran, dan
kata penutup dari pembahasan-pambahasan sebelumnya. [1] DR.Naser Abdulkarim
al-Aql, Perpecahan Umat Islam, alih bahasa A. Adzkia Hanifa, cet. Ke-1 (Solo:
CV. Pustaka Mantiq, 1994).7-8. [2] Ibid [3] Dr.Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri’, alih bahasa, Dr. Nadirsyah Hawari, M.A (Jakarta: Amzah, 2009) , hlm
78. [4]Dr. Yusuf Qaradawi, Fatwa-Fatwa kontemporer , alih bahasa Abdul Hayyie,
Al-Kattani, Masturi, Irham, Ahmad Ikhwani, Atik Fikri Ilyas, cet. Ke-III
(Depok: Gema Insani, 2008), hlm. 118. [5] Syaikh Thanthawi, Debat Islam Versus
Kafir, alih bahasa Ahmad Zamroni, Lc dan Abdul Hafidz bin Zaid, Lc (Jakarta:
Mustaqim, 2001), hlm. 20. [6] Ibid, hlm. 20-21. [7] Musa Asy’arie, Dialektika
Agama untuk Pembebasan Spritual, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), lihat khusus pada
bagiab pluralitas. [8] Lihat Andy Dermawan, Ibda’ Binafsika: Mengapa Dakwah
Partisipatoris, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), cetakan ke-2. [9] Dr.
Suryadi, M.Aq, Drs, Agung Danarto,M.Ag, dan M. Al Fatih Suryadilaga, M.Ag,
Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
2006), hlm. 1. [10] Syuhudi Ismail, Metode Peneliian Hadis Nabi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2007), hlm. 11-10. [11] Prof.Dr.H.Hasanuddin AF,MA, “Hadis
Sebagai Sumber Islam,” Al-Insan, Vol. II (tanggal 2005), hlm. 23. [12] DR.Naser
Abdulkarim al-Aql, Perpecahan Umat Islam, alih bahasa A. Adzkia Hanifa, cet.
Ke-1 (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994). [13] Dr. Yusuf Qaradawi, Fatwa-Fatwa
kontemporer , alih bahasa Abdul Hayyie, Al-Kattani, Masturi, Irham, Ahmad
Ikhwani, Atik Fikri Ilyas, cet. Ke-III (Depok: Gema Insani, 2008) [14]
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
2007)
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar