Hadis yang menerangkan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
golongan masuk neraka, dan 1 (satu) golongan masuk surga sebagaimana
telah dikutipkan pada sesi 1 (satu) sebelumnya adalah sahih (benar). Bahkan, pada riwayat lain Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa satu golongan yang masuk surga tersebut adalah “Al-jamaah” dan pada teks hadis dari periwayat lain Rasulullah saw menjawab:‘Apa yang aku dan para Sahabatku berada di atasnya.”.
Dimaklumi, hadis adalah merupakan penjabaran atau penjelasan dari Allah SWT yang dilewatkan kepada Rasul-Nya Muhammad. Isinya pasti benar, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kalau sampai ada ‘hadis’ yang ternyata isinya berlawanan atau tidak sesuai dengan al-Qur’an, maka patut diduga bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu.
Setelah Ali bin Abi Thalib kr dinobatkan sebagai khalifah menggantikan Utsman, situasi politik pemerintahan Islam semakin kacau. Hal ini disebabkan oleh ulah pemberontak yang otak, pikiran dan tindakannya telah teracuni oleh provokator Abdullah ibn Saba’ (Ibnu as-Sauda’), seorang Yahudi, yang berpura-pura memeluk Islam, yang dengan sengaja menebar dusta dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Masa pemerintahan Ali adalah masa yang paling banyak menghadapi masalah dalam negeri. Bibit-bibit pemberontakan yang sudah timbul pada masa Pemerintahan Utsman semakin berkembang dan rumit. Selain tuntutan agar pelaku pembunuhan terhadap Utsman ditangkap dan diadili dari Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq ra, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah, tuntutan serupa lebih keras juga datang dari Bani Umayyah (Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) dan berbagai pihak termasuk dari pemberontak sendiri yang menuntut bersedia kembali ke daerah asalnya masing-masing manakala pemimpin rejim Utsman sudah diganti pejabat baru semua. Suatu tuntutan yang sulit dipenuhi oleh Ali ketika itu, karena situasi politik yang belum stabil. Namun Ali tetap menggunakan prinsip musyawarah dengan para pembangkang yang tidak bersedia melakukan baiat kepadanya.
Sebelum Mu’awiyah ikut bergabung pasukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, Ali akan menghalangi mereka memasuki Basrah. Namun rombongan Aisyah sudah sampai di Basrah lebih dulu. Dengan demikian di Basrah sudah ada pasukan Ali dari Kufah dan Madinah. Maka Ali pun mengirim duta untuk melakukan negosiasi perdamaian dan mengajak mereka untuk bersatu kembali. Kubu Aisyah Cs menerima ajakan Ali, dan orang-orang pun menyambut gembira perdamaian itu, kecuali pihak pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Mengetahui terjadinya perdamaian Ali-Aisyah tersebut, komplotan pembunuh marah. Mereka menyusun rencana jahat dengan menyulut bara konflik secara tiba-tiba sebelum kesepakatan damai itu terwujud. Mereka menyusupkan orang-orang mereka ke dalam dua kubu yang sedang menunggu hasil kesepakatan. Para penyusup berhasil memperdaya kubu Ali dan mengatakan bahwa Aisyah berkhianat, dan sekaligus memperdaya kubu Aisyah dengan mengatakan bahwa Ali mengkhianati perdamaian, sehingga kedua kubu terpedaya dan membuka kontak senjata. Situasi pun berubah kacau, karena masing-masing kubu menyangka bahwa kubu lawan telah melanggar kesepakatan. Pertempuran sengit pun akhirnya tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa ini dikenal dengan Perang Jamal, terjadi pada Jumadil Akhir tahun 36 H. Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai seekor unta (jamal). Dalam perang tersebut Aisyah membawa 30 ribu prajurit dan Ali mengerahkan 20 ribu prajurit. Banyak pasukan yang meninggal, terutama yang melindungi sekedup Aisyah. Akhirnya Ali memerintahkan pasukannya agar melukai unta Aisyah dari belakang. Unta itu pun yrtsungkur roboh. Kemudian Muhammad ibn Abi Bakar (saudara Aisyah) dan Ammar ibn Yasir membawa sekedup Aisyah memasuki Basrah. Perang pun berakhir dengan kemenangan Ali. Thalhah ibn Ubaidillah, Muhammad ibn Thalhah, dan Zubair ibn Awwam gugur. Jumlah korban mencapai 10 ribu jiwa. Para syuhada dikubur secara baik-baik setelah sebelumnya Ali mensalati mereka.
Ali mengantarkan kepulangan Aisyah, mantan mertuanya kembali ke Madinah dengan memberikan penghormatan dan pengamanan lengkap, memberi kendaraan, bekal dan perlengkapan lainnya. Ali juga memberikan ijin (membebaskan) pasukan Aisyah pulang bersama Aisyah, kecuali mereka yang ingin tetap tinggal di Basrah, dan ia juga mengutus 40 orang wanita Basrah untuk menemani Aisyah, serta memerintahkan Muhammad ibn Abi Bakar untuk menyertai kepulangan Aisyah ke Madinah.
Perang Jamal (akibat kesalahfahaman pengikut Aisyah dan pengikut Ali, yang terpicu oleh siasat provokator Ibnu Suada’) berakhir, tetapi Ali masih harus menghadapi Mu’awiyah dan rakyat Syam yang menuntut kematian Utsman. Mu’awiyah menjadi gubernur Syam sejak Khalifah Umar ibn Khaththab, dan hampir 20 tahun menjabat Gubernur Syam. Ia dicintai rakyatnya berkat kelemahlembutan, kecerdasan, kedermawanan, dan kepemimpinannya. Meskipun tidak mau baiat atas kekhalifahan Ali, tetapi prinsip Mu’awiyah bertindak bukan karena nggondeli jabatan gubernurnya yang dicopot Ali. Melainkan karena ia menuntut dilaksanakannya hukum qishash pada para pelaku pembunuh Utsman Dalam menggalang dukungan massa menuntut penegakan hukum, Mu’awiyah menggantungkan baju Utsman yang masih berlumuran darah,
Ali mengutus Jarir ibn Abdullah al-Bajli untuk membujuk Mu’awiyah agar bersedia berbaiat untuknya dan bergabung Muslimin memerangi pemberontak. Namun Jarir pulang dengan tangan hampa karena Mu’awiyah memilih berperang menuntut diserahkannya para pembunuh pamannya (Utsman) daripada berbaiat dan bergabung dalam kaum Muslimin pihak Ali.. Oleh karena keduanya sama-sama merasa benar dalam ijtihad, maka perang pun tidak dapat dihindarkan. Mu’awiyah mengerahkan tentara Syam, dan Ali menghadapinya dengan mengerahkan pasukan dari Irak. Mereka bertemu di Shiffin.
Perang Siffin ini berlangsung 7 (tujuh) bulan, terjadi 90 kali kontak senjata. Dalam perang tersebut, pasukan Syam terdesak dan pada saat hampir dikalahkan, mereka mengangkat mushhaf di ujung tombak mereka, seraya berseru, “Kami mengajak kalian untuk merujuk Kitabullah.” Siasat ini adalah ide Amru ibn Ash yang berada di pihak Mu’awiyah.
Kubu Ali menerima usulan itu. Namun akibatnya, sebagian besar pasukan Ali (khususnya dari kalangan al-Qurra, penghafal al-Qur’an langsung meninggalkan peperangan dengan alasan agama. Al-Qurra’ inilah yang kemudian disebut Khawarij. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali. Mereka bermarkas di Nahrawan. Mereka semua sepakat untuk tidak mengakui kekhalifahan Utsman dan Ali. Mereka bersikap dengan mengusung jargon, “Tak ada hukum selain hukum Allah.”
Gencatan senjata terjadi pada 17 Safar 37 H. Kedua belah pihak sepakat untuk mengirimkan mediator dan satu orang saksi independen pada pertemuan Tahkim (pengambilan keputusan) di Daumatul Jandal (tempat antara Syam dan Irak) pada bulan Ramadan 37 H. Kedua kubu menarik pasukannya,. Mu’awiyah kembali ke Syam dan Ali kembali ke Kufah. Korban terbunuh dalam Perang Shiffin ini mencapai 70.000 jiwa dari kedua belah pihak; 25 ribu daru tentara Ali dan 45 ribu dari pihak Mu’awiyah. Di antara korban terbunuh dari tentara Ali adalah Ammar ibn Yasir ra, seorang sahabat terkemuka.
Sejak itu, kaum Muslimin terpecah menjadi dua kelompok besar. Kemudian muncul lagi kelompok lain yang menentang Ali. Khutbah-khutbah yang isinya melaknat dan mencaci maki Ali pun menjadi hal biasa pada saat itu. Begitu pula Khawarij yang juga sangat membencinya, bahkan kelompok Khawarij ini secara terang-terangan telah berani mengkafirkan Ali dan mendiang Utsman. Pada masa Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok besar; Ahlus Sunah Wal Jamaah yaitu muslimin yang setia kepada Ali, Khawarij pelaku bid’ah, dan Bani Umayyah bersama pengikut mereka yang memerangi Ali.
Dalam menghadapi pembangkang, Khalifah Ali dengan menggunakan hukum darurat dan terpaksa melakukan perang terhadap para pemberontak. Hal ini dilakukannya setelah usaha-usaha persuasif melalui musyawarah dengan jalan mengirimkan berbagai utusan kepada para pembangkang dan pemberontak selalu menemui jalan buntu. Tindakan Ali tersebut dapat dibenarkan oleh Islam, karena ketaatan kepada ulil amri telah diabaikan oleh para pembangkang dan pemberontak.
Kelompok Khawarij menyebarkan berita bohong (isu) bahwa Ali menarik diri dari tahkim. Ali pun meminta mereka kembali bergabung, mereka menolak bahkan meminta Ali bertobat karena telah menjadi kafir lantaran menyetujui tahkim. Ali mengerahkan pasukan dan dapat mengalahkan Khawarij di Nahrawan sehingga Khawarij tinggal 10 orang yang selamat dan yang lain menyelamatkan diri, serta dari pihak Ali, gugur 7 orang. Inilah cikal bakal kemunculan Khawarij generasi kedua. Pada masa Ali, mereka melakukan gerakan bawah tanah hingga akhirnya muncul Abdurrahman ibn Muljam dari kelompok ekstrem, yang membunuh Ali malam Jumat 17 Ramadan 40 H ketika Ali pergi ke masjid hendak menunaikan salat subuh. Akibat tusukan tersebut Ali wafat dua hari kemudian, pada malam Ahad, 19 Ramadan 40 H dalam usia 63 tahun, dan dimakamkan di Kufah.
Sebenarnya rencana pembunuhan berencana oleh kelompok ektrim tersebut tidak hanya terhadap Ali, tetapi juga Mu’awiyah (Gubernur Syam terpecat), yang secara de facto masih memegang kekuasaan namun secara de jure sudah bukan lagi gubernur resmi, dan Amru ibn Ash, politikus ‘licik’nya Mu’awiyah, si perencana dan biang kerak adanya gencatan senjata dan tahkim, pada perang Siffin di mana kubu Ali sudah berada di ambang kemenangan. Namun Mu’awiyah selamat dari pembunuhan al-Barrak, karena pedang beracunnya hanya melukai pantat Mu’awiyah, dan Amru ibn Ash juga selamat dari tikaman Amru ibn Bukair, karena kebetulan malam jelang itu dia tidak pergi ke masjid karena sedang sakit, sehingga pelaku pembunuhnya hanya berhasil membunuh Kharijah ibn Habib as-Sahmi, imam salat subuh pengganti dirinya.
Pasca gugurnya Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (kw), perpecahan umat Islam semakin parah dan terang-terangan menjadi 73 golongan. 72 golongan masuk neraka dan 1 (satu) golongan masuk surga.
A. Golongan Yang Masuk Neraka; 72 Golongan
72 Golongan yang masuk neraka sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi tersebut adalah pecahan dari 7 (tujuh) golongan besar, yaitu;
Dimaklumi, hadis adalah merupakan penjabaran atau penjelasan dari Allah SWT yang dilewatkan kepada Rasul-Nya Muhammad. Isinya pasti benar, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kalau sampai ada ‘hadis’ yang ternyata isinya berlawanan atau tidak sesuai dengan al-Qur’an, maka patut diduga bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu.
Setelah Ali bin Abi Thalib kr dinobatkan sebagai khalifah menggantikan Utsman, situasi politik pemerintahan Islam semakin kacau. Hal ini disebabkan oleh ulah pemberontak yang otak, pikiran dan tindakannya telah teracuni oleh provokator Abdullah ibn Saba’ (Ibnu as-Sauda’), seorang Yahudi, yang berpura-pura memeluk Islam, yang dengan sengaja menebar dusta dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Masa pemerintahan Ali adalah masa yang paling banyak menghadapi masalah dalam negeri. Bibit-bibit pemberontakan yang sudah timbul pada masa Pemerintahan Utsman semakin berkembang dan rumit. Selain tuntutan agar pelaku pembunuhan terhadap Utsman ditangkap dan diadili dari Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq ra, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah, tuntutan serupa lebih keras juga datang dari Bani Umayyah (Mu’awiyah ibn Abi Sufyan) dan berbagai pihak termasuk dari pemberontak sendiri yang menuntut bersedia kembali ke daerah asalnya masing-masing manakala pemimpin rejim Utsman sudah diganti pejabat baru semua. Suatu tuntutan yang sulit dipenuhi oleh Ali ketika itu, karena situasi politik yang belum stabil. Namun Ali tetap menggunakan prinsip musyawarah dengan para pembangkang yang tidak bersedia melakukan baiat kepadanya.
Sebelum Mu’awiyah ikut bergabung pasukan Aisyah, Zubair dan Thalhah, Ali akan menghalangi mereka memasuki Basrah. Namun rombongan Aisyah sudah sampai di Basrah lebih dulu. Dengan demikian di Basrah sudah ada pasukan Ali dari Kufah dan Madinah. Maka Ali pun mengirim duta untuk melakukan negosiasi perdamaian dan mengajak mereka untuk bersatu kembali. Kubu Aisyah Cs menerima ajakan Ali, dan orang-orang pun menyambut gembira perdamaian itu, kecuali pihak pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Mengetahui terjadinya perdamaian Ali-Aisyah tersebut, komplotan pembunuh marah. Mereka menyusun rencana jahat dengan menyulut bara konflik secara tiba-tiba sebelum kesepakatan damai itu terwujud. Mereka menyusupkan orang-orang mereka ke dalam dua kubu yang sedang menunggu hasil kesepakatan. Para penyusup berhasil memperdaya kubu Ali dan mengatakan bahwa Aisyah berkhianat, dan sekaligus memperdaya kubu Aisyah dengan mengatakan bahwa Ali mengkhianati perdamaian, sehingga kedua kubu terpedaya dan membuka kontak senjata. Situasi pun berubah kacau, karena masing-masing kubu menyangka bahwa kubu lawan telah melanggar kesepakatan. Pertempuran sengit pun akhirnya tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa ini dikenal dengan Perang Jamal, terjadi pada Jumadil Akhir tahun 36 H. Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai seekor unta (jamal). Dalam perang tersebut Aisyah membawa 30 ribu prajurit dan Ali mengerahkan 20 ribu prajurit. Banyak pasukan yang meninggal, terutama yang melindungi sekedup Aisyah. Akhirnya Ali memerintahkan pasukannya agar melukai unta Aisyah dari belakang. Unta itu pun yrtsungkur roboh. Kemudian Muhammad ibn Abi Bakar (saudara Aisyah) dan Ammar ibn Yasir membawa sekedup Aisyah memasuki Basrah. Perang pun berakhir dengan kemenangan Ali. Thalhah ibn Ubaidillah, Muhammad ibn Thalhah, dan Zubair ibn Awwam gugur. Jumlah korban mencapai 10 ribu jiwa. Para syuhada dikubur secara baik-baik setelah sebelumnya Ali mensalati mereka.
Ali mengantarkan kepulangan Aisyah, mantan mertuanya kembali ke Madinah dengan memberikan penghormatan dan pengamanan lengkap, memberi kendaraan, bekal dan perlengkapan lainnya. Ali juga memberikan ijin (membebaskan) pasukan Aisyah pulang bersama Aisyah, kecuali mereka yang ingin tetap tinggal di Basrah, dan ia juga mengutus 40 orang wanita Basrah untuk menemani Aisyah, serta memerintahkan Muhammad ibn Abi Bakar untuk menyertai kepulangan Aisyah ke Madinah.
Perang Jamal (akibat kesalahfahaman pengikut Aisyah dan pengikut Ali, yang terpicu oleh siasat provokator Ibnu Suada’) berakhir, tetapi Ali masih harus menghadapi Mu’awiyah dan rakyat Syam yang menuntut kematian Utsman. Mu’awiyah menjadi gubernur Syam sejak Khalifah Umar ibn Khaththab, dan hampir 20 tahun menjabat Gubernur Syam. Ia dicintai rakyatnya berkat kelemahlembutan, kecerdasan, kedermawanan, dan kepemimpinannya. Meskipun tidak mau baiat atas kekhalifahan Ali, tetapi prinsip Mu’awiyah bertindak bukan karena nggondeli jabatan gubernurnya yang dicopot Ali. Melainkan karena ia menuntut dilaksanakannya hukum qishash pada para pelaku pembunuh Utsman Dalam menggalang dukungan massa menuntut penegakan hukum, Mu’awiyah menggantungkan baju Utsman yang masih berlumuran darah,
Ali mengutus Jarir ibn Abdullah al-Bajli untuk membujuk Mu’awiyah agar bersedia berbaiat untuknya dan bergabung Muslimin memerangi pemberontak. Namun Jarir pulang dengan tangan hampa karena Mu’awiyah memilih berperang menuntut diserahkannya para pembunuh pamannya (Utsman) daripada berbaiat dan bergabung dalam kaum Muslimin pihak Ali.. Oleh karena keduanya sama-sama merasa benar dalam ijtihad, maka perang pun tidak dapat dihindarkan. Mu’awiyah mengerahkan tentara Syam, dan Ali menghadapinya dengan mengerahkan pasukan dari Irak. Mereka bertemu di Shiffin.
Perang Siffin ini berlangsung 7 (tujuh) bulan, terjadi 90 kali kontak senjata. Dalam perang tersebut, pasukan Syam terdesak dan pada saat hampir dikalahkan, mereka mengangkat mushhaf di ujung tombak mereka, seraya berseru, “Kami mengajak kalian untuk merujuk Kitabullah.” Siasat ini adalah ide Amru ibn Ash yang berada di pihak Mu’awiyah.
Kubu Ali menerima usulan itu. Namun akibatnya, sebagian besar pasukan Ali (khususnya dari kalangan al-Qurra, penghafal al-Qur’an langsung meninggalkan peperangan dengan alasan agama. Al-Qurra’ inilah yang kemudian disebut Khawarij. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali. Mereka bermarkas di Nahrawan. Mereka semua sepakat untuk tidak mengakui kekhalifahan Utsman dan Ali. Mereka bersikap dengan mengusung jargon, “Tak ada hukum selain hukum Allah.”
Gencatan senjata terjadi pada 17 Safar 37 H. Kedua belah pihak sepakat untuk mengirimkan mediator dan satu orang saksi independen pada pertemuan Tahkim (pengambilan keputusan) di Daumatul Jandal (tempat antara Syam dan Irak) pada bulan Ramadan 37 H. Kedua kubu menarik pasukannya,. Mu’awiyah kembali ke Syam dan Ali kembali ke Kufah. Korban terbunuh dalam Perang Shiffin ini mencapai 70.000 jiwa dari kedua belah pihak; 25 ribu daru tentara Ali dan 45 ribu dari pihak Mu’awiyah. Di antara korban terbunuh dari tentara Ali adalah Ammar ibn Yasir ra, seorang sahabat terkemuka.
Sejak itu, kaum Muslimin terpecah menjadi dua kelompok besar. Kemudian muncul lagi kelompok lain yang menentang Ali. Khutbah-khutbah yang isinya melaknat dan mencaci maki Ali pun menjadi hal biasa pada saat itu. Begitu pula Khawarij yang juga sangat membencinya, bahkan kelompok Khawarij ini secara terang-terangan telah berani mengkafirkan Ali dan mendiang Utsman. Pada masa Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok besar; Ahlus Sunah Wal Jamaah yaitu muslimin yang setia kepada Ali, Khawarij pelaku bid’ah, dan Bani Umayyah bersama pengikut mereka yang memerangi Ali.
Dalam menghadapi pembangkang, Khalifah Ali dengan menggunakan hukum darurat dan terpaksa melakukan perang terhadap para pemberontak. Hal ini dilakukannya setelah usaha-usaha persuasif melalui musyawarah dengan jalan mengirimkan berbagai utusan kepada para pembangkang dan pemberontak selalu menemui jalan buntu. Tindakan Ali tersebut dapat dibenarkan oleh Islam, karena ketaatan kepada ulil amri telah diabaikan oleh para pembangkang dan pemberontak.
Kelompok Khawarij menyebarkan berita bohong (isu) bahwa Ali menarik diri dari tahkim. Ali pun meminta mereka kembali bergabung, mereka menolak bahkan meminta Ali bertobat karena telah menjadi kafir lantaran menyetujui tahkim. Ali mengerahkan pasukan dan dapat mengalahkan Khawarij di Nahrawan sehingga Khawarij tinggal 10 orang yang selamat dan yang lain menyelamatkan diri, serta dari pihak Ali, gugur 7 orang. Inilah cikal bakal kemunculan Khawarij generasi kedua. Pada masa Ali, mereka melakukan gerakan bawah tanah hingga akhirnya muncul Abdurrahman ibn Muljam dari kelompok ekstrem, yang membunuh Ali malam Jumat 17 Ramadan 40 H ketika Ali pergi ke masjid hendak menunaikan salat subuh. Akibat tusukan tersebut Ali wafat dua hari kemudian, pada malam Ahad, 19 Ramadan 40 H dalam usia 63 tahun, dan dimakamkan di Kufah.
Sebenarnya rencana pembunuhan berencana oleh kelompok ektrim tersebut tidak hanya terhadap Ali, tetapi juga Mu’awiyah (Gubernur Syam terpecat), yang secara de facto masih memegang kekuasaan namun secara de jure sudah bukan lagi gubernur resmi, dan Amru ibn Ash, politikus ‘licik’nya Mu’awiyah, si perencana dan biang kerak adanya gencatan senjata dan tahkim, pada perang Siffin di mana kubu Ali sudah berada di ambang kemenangan. Namun Mu’awiyah selamat dari pembunuhan al-Barrak, karena pedang beracunnya hanya melukai pantat Mu’awiyah, dan Amru ibn Ash juga selamat dari tikaman Amru ibn Bukair, karena kebetulan malam jelang itu dia tidak pergi ke masjid karena sedang sakit, sehingga pelaku pembunuhnya hanya berhasil membunuh Kharijah ibn Habib as-Sahmi, imam salat subuh pengganti dirinya.
Pasca gugurnya Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (kw), perpecahan umat Islam semakin parah dan terang-terangan menjadi 73 golongan. 72 golongan masuk neraka dan 1 (satu) golongan masuk surga.
A. Golongan Yang Masuk Neraka; 72 Golongan
72 Golongan yang masuk neraka sebagaimana tersebut dalam hadis Nabi tersebut adalah pecahan dari 7 (tujuh) golongan besar, yaitu;
1. Khawarij, adalah kaum yang sangat membenci Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, bahkan mereka mengkafirkannya. Salah satu ajarannya menyebutkan “siapa pun yang melakukan dosa besar maka dianggap kafir. Golongan Khawarij ini adalah orang-orang yang kecewa dengan adanya tahkim (pengambilan keputusan) Ali, lalu mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib kw dan Mu’awiyah ra, dan mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah yang taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, serta tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab. Golongan Khawarij ini pecah menjadi 20 golongan.
2. Syiah, ialah kaum atau orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi saw dan bukan dengan cara baiat. kaum Golongan Syiah ini sangat mengagung-agungkan Sayyidina Ali, namun perilaku dan sikap kemuslimannya justru tidak sesuai dengan Ali ibn Abi Thalib. Mereka juga tidak mengakui tiga khalifah Rasyidin sebelumnya (Abu Bakar Ash-Shidiq ra, Umar bin Khatthab ra dan Utsman bin Affan ra), bahkan sangat membencinya, menganggap telah merampas penerus kepemimpinan Nabi Muhammad, mengatakannya kafir, dan juga terhadap Aisyah, istri Rasulullah saw karena Aisyah telah memerangi Ali. Kaum ini disulut oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ketika ia datang ke Madinah tidak mendapat perhatian dari khalifah dan umat Islam lainnya sehingga ia menjadi jengkel. Golongan Syiah ini pecah menjadi 22 golongan dan yang paling parah adalah Syi’ah Sabi’iyah.
3. Mu’tazilah, yaitu golongan atau kaum yang sangat mengagungkan akal pikiran dan bersifat filosofis, Aliran ini dicetuskan oleh Washil bin Atho (700-750 M) salah seorang murid Hasan Al Basri.
Mu’tazilah memiliki 5 ajaran utama, yaitu :
a. Tentang tauhid. Mereka berpendapat bahwa sifat Allah adalah zat-Nya itu sendiri., Al-Qur’an adalah makhluk, dan Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Dia.
b. Yentang keadilan Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
c. Tentang janji dan ancaman. Mereka berpendapat bahwa Allah takkan ingkar janji: Dia akan memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
d. Tentang posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan olrh Wasil bin Atha yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya adalah mukmin yang berada di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
e. Tentang amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa masalah qada dan qadar, adalah manusia sendiri yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Mu’tazilah dan Khawarij meyakini bahwa seseorang yang melakukan dosa-dosa besar kekal di dalam api neraka, dan tidak meyakini dengan sabda Rasulullah saw “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas api neraka atas orang yang mengucapkan Laailahaillallah”. Golongan Mu’tazilah ini pecah menjadi 20 golongan.
4. Murjiah, adalah kaum yang meyakini bahwa seorang mukmin cukup hanya mengucapkan “Laailahaillallah” saja. Setelah itu dia bebas berbuat amal apa saja tidak akan mempengaruhi keimanannya. Golongan Murjiah ini pecah menjadi 5 (lima) golongan.
5. Najariyah, adalah kaum yang menyatakan perbuatan manusia adalah mahluk, yaitu dijadikan Tuhan dan tidak percaya pada sifat Allah yang 20. Golongan Najariyah pecah menjadi 3 (tiga) golongan.
6. Jabbariyah, adalah kaum yang berpendapat bahwa seorang hamba adalah tidak berdaya apa-apa (terpaksa), ia melakukan maksiyat semata-mata Allah yang melakukan. Golongan Al Jabbariyah pecah menjadi 1 (satu) golongan.
7. Musyabbihah atau Mujasimah, golongan atau kaum yang menyerupakan Allah dengan manusia, yang memiliki tangan, kaki, dan selalu duduk di kursi. Golongan Musyabbihah /Mujasimah pecah menjadi 1 (satu) golongan.
B. Golongan Yang Masuk Surga: 1 (satu) Golongan; Ahli Sunah Wal Jama’ah
1. Pengertian.
Secara etimologi Ahli adalah kelompok/keluarga/pengikut. Sunah adalah perbuatan-perbuatan Rasulullah yang diperagakan untuk menjelaskan hukum-hukum Al Qur’an yang dituangkan dalam bentuk amalan. Al Jama’ah yaitu al-Ummah (al-Munjid) yaitu sekumpulan orang-orang beriman yang dipimpin oleh imam untuk saling bekerjasama dalam hal urusan yang penting.
Menurut istilah Ahli Sunah wal Jama’ah adalah sekelompok orang yang mentaati sunah Rasulullah secara berjama’ah, atau satu golongan umat Islam di bawah satu komando untuk urusan agama Islam sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan para sahabatnya.
Menjelang wafatnya, Rasulullah saw telah berwasiat agar umat Islam berpegang teguh kepada 2 (dua) buah pusaka yang ditinggalkannya, yaitu; Sunah-Sunah Rasulullah saw dan Kitabullah Al-Qur’an. Dalam hadis yang lain, Nabi saw juga meminta agar mengikuti tindakan para Ahlul Bait, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan wasiat tersebut di atas, golongan Ahlussunnah wal jama’ah mengambil salah satu jalan pendekatan diri kepada Allah SWT dengan perpegang kepada 4 (empat) macam pegangan, yaitu;:
1. Al-Qur’an
2. Hadis
3. Ijma’
4. Qiyas
Arti Ahlussunnah wal jama’ah itu sendiri diambil dari Hadis Rasulullah saw yang beliau sabdakan: “Islam akan menjadi terbagi menjadi 73 golongan, satu golongan yang masuk surga tanpa dihisab”, sahabat berkata: Siapakah golongan tersebut ya Rasulullah ?, Nabi Muhammad saw bersabda : “Ahlussunnah wal jama’ah“.
Apa itu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah?
Semua golongan mengaku dirinya Ahlussunnah tetapi sebenarnya mereka bukan Ahlussunnah wal jama’ah karena banyak hal-hal yang mereka langgar di dalam ajaran agama Islam, tetapi tetap mereka mengakui diri mereka yang benar. Sebenarnya kita harus mengetahui apa yang kita pelajari dan atau yang kita amalkan di dalam Islam maka kita akan mengetahui kebenarannya di dalam ajaran Ahlussunnah wal jama’ah.
Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bersepakat, bahwa yang dimaksud mereka dalam hadis tersebut, adalah :
1. Mereka adalah Nabi Muhammad saw (wafat tahun 11 H) dan sahabat-sahabatnya (yang wafat tahun 80-90 H)
2. Penerus sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw adalah dinamakan Tabi’in (wafat tahun 110-120 H)
3. Tabi’ut Tabi’in adalah orang-orang yang belajar dan mengikuti orang yang belajar kepada sahabat Rasulullah saw. (wafat tahun 120 H)
4. Dan para ulama salihin.(wafat tahun 200 H)
Ulama salihin adalah ulama-ulama yang mengikuti jejak mereka di atas yang 3 (tiga) dan ulama ini sangat banyak sekali di muka bumi maka mereka menamai dirinya atau golongannya dengan nama “Ahlussunnah wal jama’ah ”.
Apa yang mereka ajarkan ?
Kita akan mengenalkan mereka dengan kitab-kitabnya yang telah tersebar luas di dunia seperti Imam Ghazali, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Maliki dan banyak daripada itu pula dari keturunan Rasulullah saw yang menamai julukan mereka habaib atau habib, di antara mereka adalah Al habib Abdullah Bin Alwi Al Haddad yang satu di antara karangannya adalah Nashoihuddiyyah dan banyak lagi yang lainnya.
Cara-cara mereka akan lebih dekat kita kenal dengan amalan-amalan mereka yang sering kita dapati di tiap-tiap wilayah di antaranya mereka mendirikan perkumpulan dengan pembacaan sejarah Nabi Muhammad SAW yang dinamakan dengan “Maulid” dan pembacaan Do`a Qunut, Tahlil, Manaqib, Ratib, Ziarah Kubur, Pengadaan Haul para Aulia, Ini di antara amalan-amalan Ahli Sunah Wal Jama`ah. Kitab/buku-buku mereka dari karangan-karangan yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Rasulullah saw,
Untuk mengetahui kebenaran ilmu mereka, maka kita harus selektif dengan mencermati riwayat kehidupannya, karena di zaman ini banyak sekali golongan-golongan yang akan menyesatkan umat manusia karena kebodohan dan kurangnya pengertian jalan yang mereka ikuti sehingga mereka terjerumus kedalam jalan golongan-golongan yang sesat, maka berhati-hatilah membawa diri kita dan keluarga kita agar kita tidak terjerumus kedalam golongan yang tidak ada jaminan dari Rasulullah saw.
“Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para sahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya dan segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari azab Allah.”(HR Al-Laalikai dan Hakim, Sahihain)
Dan masih banyak lagi hadis-hadis sahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para sahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.
Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis telah memuliakan para sahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para sahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadis sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya.
Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para sahabat Nabi dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Semoga kita semua termasuk bagian dari golongan ahlul sunnah wal-jamaah di dunia dan di akhirat mengikuti langkah-langkah mereka dan tetap istiqomah di jalan Allah wa Rasulullah, maka ikutilah jalan-jalan ahlul sunnah wal-jamaah. yaitu di golongankan dari ahlul bait, kiyai, ustad, ulama, habaib, dan dai-dai Islam ahlul sunnah yang termasuk dalam golongan mereka,
2. Syarat Terbentuknya al-Jama’ah.
Secara singkat telah diterangkan oleh Sayyidina Umar ra: ” Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, Tidak ada jama’ah kecuali dengan imam, Tidak ada imam kecuali dengan Bai’at, Tidak ada bai’at kalau tidak ada taat.
Dan bai’at bukanlah syahadat, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang salah, dan apalagi dengan pengkafiran di luar kelompok tersebut.
3. Terpeliharanya Islam.
Dalam masa-masa kerusakan Islam Allah menunjukkan kasih sayangnya dengan membangkitkan para mujadidnya setiap 100 tahun sekali yang meluruskan kembali pemahaman ajaran Rasul sesuai dengan kebutuhan pemahaman mereka saat itu hingga turunnya masa imam Mahdi dan Nabi Isa beserta pasukan Panji Hitam di seluruh pelososk dunia dan berkuasa sesuai hukum-hukum Allah wa Rasulullah. (Dirangkum dari berbagai sumber oleh Machmud Suwandi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar