| 8.656 Views
Jakarta (ANTARA News) - ISIS di Indonesia merupakan gabungan dari
beberapa kelompok radikalisme sebelumnya yaitu Jamaah Islamiyah, Jamaah
Ansharut Tauhid, Mujahidin Indonesia Timur, dan lain-lain, kata kandidat
doktor dari Universitas Deakin, Melbourne, Badrus Sholeh.
"Fakta itulah yang membuat ISIS cukup mudah menyusup ke masyarakat sampai mereka berhasil memberangkatkan ratusan orang ke Suriah dengan dalih jihad," katanya dalam Seminar Nasional "Radikalisme Agama Dalam Perspektif Global dan Nasional" di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis.
Saat ini, lanjut Badrus Sholeh, peta ISIS di Indonesia sangat luas, mulai dari Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Lamongan Network, Link Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Jabodetabek.
Untuk itu, ia meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk terus bergerak bersama berbagai lapisan masyarakat, mahasiswa, dan pelajar, menjalankan program pencegahan meluasnya paham ISIS.
"Harus ada sinergi kuat untuk membendung paham radikalisme itu, baik di masyarakat maupun di jalur pendidikan. Lebih penting lagi, pemerintah harus memperkuat Undang Undang Antiteror," kata Badrus.
Pendapat senada dikemukakan Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Dr Irfan Idris. Ia mengungkapkan bahwa ISIS di Indonesia hanyalah chasing atau bungkus baru dari gerakan-gerakan radikalisme terdahulu.
"Kita tidak boleh lemah menghadapi mereka karena radikalisme itu sangat berbahaya. Ada banyak jalan menuju Roma yang mereka lakukan untuk mencapai tujuannya," katanya.
BNPT sendiri terus menggalakkan upaya untuk meredam gerakan kelompok itu dengan program kontraideologi, kontranarasi, kontraradikalisme, dan kontrapropaganda.
Irfan menegaskan bahwa ISIS bukanlah negara. Ia mengibaratkan ISIS dengan ideologi radikalismenya yang menjual agama ibarat penyakit yang akan membuat negara yang dijangkitinya menjadi chaos dan rusak.
"Sama dengan penyakit, kalau kita drop, akan masuk. Kalau negara kita kuat, masyarakat kuat, kampus kuat, saya kira kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama tidak bisa masuk," katanya.
Ketua Kajian Islam dan Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Muhammad Lutfi menyatakan bahwa ISIS adalah produk rekayasa yang dikendalikan oleh kekuatan tertentu yang bertujuan merusak umat Islam.
"Itu akal-akalan saja dan konspirasi besar pihak-pihak yang ingin menghancurkan Islam. Islam itu tidak kenal kekerasan, apalagi saling membunuh dan saling menghancurkan," kata dia.
Sebenarnya, kata Lufi, ISIS tidak memiliki jaringan tertentu di Indonesia, mereka hanya punya ideologi dan memegang kunci negara Islam dan hijrah.
"Kunci itulah yang dijadikan senjata untuk menarik pengikut untuk hijrah ke suatu negara, di mana kaidah-kaidah hukum Islam dilakukan. Padahal itu semua tidak benar," katanya.
Untuk mencegah penyebaran ISIS di Indonesia, lanjut Lutfi, pemerintah harus memiliki program, terutama untuk memperketat WNI pergi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah.
Selain itu, para ulama di Indonesia diberi wawasan tentang aktivitias gerakan radikalisme atau ISIS di dunia internasional. Pemerintah, dalam hal ini BNPT, harus mengajak seluruh komponen dan organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis sebagai ujung tombak dalam pencegahan masuknya paham radikalisme di tengah masyarakat.
"Fakta itulah yang membuat ISIS cukup mudah menyusup ke masyarakat sampai mereka berhasil memberangkatkan ratusan orang ke Suriah dengan dalih jihad," katanya dalam Seminar Nasional "Radikalisme Agama Dalam Perspektif Global dan Nasional" di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis.
Saat ini, lanjut Badrus Sholeh, peta ISIS di Indonesia sangat luas, mulai dari Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Lamongan Network, Link Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Jabodetabek.
Untuk itu, ia meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk terus bergerak bersama berbagai lapisan masyarakat, mahasiswa, dan pelajar, menjalankan program pencegahan meluasnya paham ISIS.
"Harus ada sinergi kuat untuk membendung paham radikalisme itu, baik di masyarakat maupun di jalur pendidikan. Lebih penting lagi, pemerintah harus memperkuat Undang Undang Antiteror," kata Badrus.
Pendapat senada dikemukakan Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Dr Irfan Idris. Ia mengungkapkan bahwa ISIS di Indonesia hanyalah chasing atau bungkus baru dari gerakan-gerakan radikalisme terdahulu.
"Kita tidak boleh lemah menghadapi mereka karena radikalisme itu sangat berbahaya. Ada banyak jalan menuju Roma yang mereka lakukan untuk mencapai tujuannya," katanya.
BNPT sendiri terus menggalakkan upaya untuk meredam gerakan kelompok itu dengan program kontraideologi, kontranarasi, kontraradikalisme, dan kontrapropaganda.
Irfan menegaskan bahwa ISIS bukanlah negara. Ia mengibaratkan ISIS dengan ideologi radikalismenya yang menjual agama ibarat penyakit yang akan membuat negara yang dijangkitinya menjadi chaos dan rusak.
"Sama dengan penyakit, kalau kita drop, akan masuk. Kalau negara kita kuat, masyarakat kuat, kampus kuat, saya kira kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama tidak bisa masuk," katanya.
Ketua Kajian Islam dan Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Muhammad Lutfi menyatakan bahwa ISIS adalah produk rekayasa yang dikendalikan oleh kekuatan tertentu yang bertujuan merusak umat Islam.
"Itu akal-akalan saja dan konspirasi besar pihak-pihak yang ingin menghancurkan Islam. Islam itu tidak kenal kekerasan, apalagi saling membunuh dan saling menghancurkan," kata dia.
Sebenarnya, kata Lufi, ISIS tidak memiliki jaringan tertentu di Indonesia, mereka hanya punya ideologi dan memegang kunci negara Islam dan hijrah.
"Kunci itulah yang dijadikan senjata untuk menarik pengikut untuk hijrah ke suatu negara, di mana kaidah-kaidah hukum Islam dilakukan. Padahal itu semua tidak benar," katanya.
Untuk mencegah penyebaran ISIS di Indonesia, lanjut Lutfi, pemerintah harus memiliki program, terutama untuk memperketat WNI pergi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah.
Selain itu, para ulama di Indonesia diberi wawasan tentang aktivitias gerakan radikalisme atau ISIS di dunia internasional. Pemerintah, dalam hal ini BNPT, harus mengajak seluruh komponen dan organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis sebagai ujung tombak dalam pencegahan masuknya paham radikalisme di tengah masyarakat.
Editor: Suryanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar